Rabu, 06 Mei 2009

Wong Kalang

Pada awalnya wong kalang hidup di beberapa tempat, dan tersebar di Pulau Jawa, terutama di beberapa di daerah Jawa Tengah. Mereka mengembara dari hutan ke hutan yang lain. Di Jawa Tengah, wong Kalang terdapat di daerah: Sragen, Sala, dan Prambanan. Sedang di Yogyakarta wong kalang ini terdapat di Tegalgendhu Kotagede. Wong Kalang di Kotagede ini, dikumpulkan dan bertempat tinggal tetap pada waktu pemerintahan Sultan Agung (kurang lebih tahun 1640). Saat ini sudah sangat sulit untuk membedakan wong Kalang dengan penduduk Kotagede pada umumnya. Namun apabila dicermati, dapat ditemukan adat kebiasaan dan tabiat yang berbeda dari wong-wong Kalang tersebut. Wong Kalang biasanya menggunakan barang-barang dari emas dan berlian yang mewah, dan berbeda dengan penduduk Kotagede pada umumnya pada waktu menghadiri pesta maupun perjamuan yang lain.

Wong Kalang di Kotagede yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Kalang Obong (geseng) dan Kalang Kamplong. Kalang Kobong mempunyai kebiasaan membakar boneka sebagai lambang orang yang telah meninggal, pada hari keseribu (nyewu). Golongan Kalang sebenarnya sudah dikenal dalam prasasti Jawa Kuna. Prasasti Harinjing A (804 M), misalnya menyebut tuha kalang (ketua kelompok kalang), selain itu disebut pula dalam prasasti Panggumulan (904 M) dengan istilah Pandhe Kalang (tukang kayu).

Pada abad XVII sebutan wong kalang muncul lagi, yaitu ketika Sultan Agung membuat wong kalang menetap di Jawa Tengah pada tahun 1636. Catatan bangsa Eropa tentang golongan ini antara lain adalah bahwa mereka yang berada di Rembang dan Pati waktu itu bekerja sebagai penebang pohon. Catatan lain lebih memperjelas keberadaan mereka di Jawa tengah, yaitu menebang dan mengangkat kayu; membuat “gorab” dan kapal perang; mereka juga memiliki sejumlah ketua yang salah satunya bergelar Tumenggung.

Gelombang kedatangan wong kalang di Kotagede terjadi pada abad XVIII yang pada waktu itu telah dibagi dua, yaitu sebagian untuk Kasultanan Yogyakarta dan sebagian lagi untuk Kasunanan Surakarta, kecuali pasar, mesjid, dan Pasareyan Agung. Dorongan kedatangan wong kalang di Kotagede secara garis besar ada dua hal, yaitu: sifat pengembaraan yang turun menurun, dan bakat alamiah mereka dalam bidang perdagangan dan pelayanan jasa umum, serta kewirausahaan dlam berbagai bidang.

Pada abad XIX, wong kalang mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian di Kotagede secara khusus. Mereka pada waktu itu bertempat tinggal di wilayah Tegalgendhu. Mereka menguasai perdagangan berbagai komoditi serta jasa, seperti transportasi dan pegadaian.

Pada abad XX M, pengertian kalang dikaitkan dengan tukang kayu (perajin kayu) atau petugas kehutanan. Di Keraton Surakarta dikenal abdi dalem kalang (tukang kayu) yang bekerja sama dengan abdi dalem narawreksa. Di Keraton Yogyakarta beberapa waktu yang lalu dikenal abdi dalem gowong. Wong kalang mendiami beberapa kota dan daerah tertentu, seperti Tegalgendhu (Kotagede), Petanahan dan Ambal di Kebumen, Pekalongan, Semarang, Walikukun, Madiun, Tulungagung, Surabaya, dan Bayuwangi.

Claude Guilot, sejarahwan Prancis, secara khusus melakukan studi terhadap ‘wong kalang’ dan diantaranya adalah yang menetap di Kotagede. Sebuah keluarga golongan Kalang yang menjadi salah satu narasumbernya yaitu keluarga Asijah Prawirosularso, menjadi akrab dengan Guliot ketika penelitian berlangsung sehingga dengan sangat ramah melayani berbagai keperluan penelitiannya, termasuk penginapan.

Keluarga ini menceritakan bagaimana leluhurnya mengembara hingga menetap di Gombong. Pada awal abad XVIII, leluhur yang masih diingat namanya, yaitu Mertawangsa, memiliki perusahaan dagang dan pegadaian, dan akhirnya pindah ke Kotagede pada akhir abad XVIII. Lokasi ini dianggap strategis karena, selain hanya sekitar 6 Km dari pusat pemerintahan Yogyakarta, juga karena Kotagede pada saat itu berada di wilayah dua pemerintahan sekaligus, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.

Generasi berikutnya, yaitu Mertasetika, berperan aktif ketika perang Dipanegara. Pada waktu itu, Kotagede selain sebagai pusat perdagangan dan ekonomi juga menjadi pusat pembuatan senjata, karena Kotagede merupakan pusat perajin mranggi dan pandhe wesi (pande besi). Kedudukannya semakin terpandang, sehingga salah satu anaknya yang bernama Brajasemita diangkat oleh Keraton Yogyakarta sebagai demang pada sekitar tahun 1850. Anak perempuan Demang Brajasemita yang lahir tahun 1857 akhirnya masuk Islam dan berganti nama menjadi Fatimah. Fatimah kemudian menikah dengan sepupunya yang tidak masuk Islam, yaitu Mulyasuwarna, pada tahun 1872.

Pasangan yang menikah pada usia 17 dan 15 tahun ini semakin akrab dengan kalangan istana Keraton Yogyakarta karena keduanya memang ulet dan memiliki jiwa wirausaha yang besar. Pasangan ini kaya raya juga memiliki status yang tinggi di kalangan masyarakat Kotagede. Tidak mengherankan jika anaknya, Prawirasuwarna, yang lahir pad tahun 1873 ketika remaja begitu leluasa keluar-masuk istana Yogyakarta, termasuk bermain-main dengan pangeran yang nantinya menjadi Sultan Hamengku Buwana VIII.
Keluarga ini semakin kaya ketika mendapat hak mengelola rumah gadai, meskipun rumah gadai ditutup pada awal abad XX. Hak ini diterima dari Keraton Surakarta yang tetap mempertahankan lembaga pegadaian di wilayahnya, termasuk Kotagede. Mereka terus membeli hak mengelola rumah gadai hingga berjumlah sebelas dan pengelolaannya dititipkan kepada kerabat-kerabatnya. Pelanggan terbesarnya adalah keluarga ningrat sehingga perusahaan mereka benar-benar mirip sebuah bank swasta yang sukses; dan ini juga berkat dukungan anaknya yang bernama Noerijah.

Di samping itu, bisnis lainnya, yaitu perdagangan emas dan berlian juga berkembang sama baiknya sehingga keluarga ini menjadi semakin kaya dan terpandang. Van Mook bahkan menulis bahwa pada saat itu Kotagede menjadi pusat perdagangan yang terbesar di Hindia Belanda.

Pusat permukiman mereka ada di Tegalgendhu dengan gaya bangunan yang khas Eropa dengan dominasi mosaik dan tegel yang mewah. Mereka bahkan memiliki pembantu wanita dari keturunan Tionghoa dan Eropa, sebuah gengsi yang sangat tinggi.

Pada masa pendudukan Jepang, keluarga ini mengungsi dari Tegalgendhu menuju sebuah dusun yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari Kotagede. Selain penjarahan, harta berupa emas dan berlian yang dititipkan kepada orang asing untuk diselamatkan di Amerika Serikat, tidak dapat diambil kembali setelah perang usai. Dengan dukungan anaknya Noerijah, Prawirasuwarna berusaha membangun kembali kedudukan dan perannya dalam roda ekonomi, dan selama itu pula mereka mendukung keluarga Sultan Yogyakarta.

Ketika Indonesia Merdeka dan Belanda kembali ke Indonesia, pemerintahan Soekarno untuk sementara pindah ke Yogyakarta. Sultan Yogyakarta bersedia memberikan perlindungan dan dukungan dana kepada pemerintah yang masih miskin ini, dan seperti biasanya, dukungan dana juga melibatkan golongan Kalang. Namun, pasca perang menyebabkan keluarga itu terpisah-pisah sehingga tidak sekuat dulu lagi.

Kerugian akibat perang ditambah dengan pembauran wilayah Yogyakarta dengan Republik Indonesia yang antara lain juga berdampak kepada nasionalisasi rumah-rumah gadai, mendorong keluarga ini mengubah haluan bisnisnya. Bidang usaha yang mereka geluti setelah itu adalah bidang wisata, khususnya perhotelan dan biro perjalanan, serta angkutan termasuk perusahaan bis. Mungkin sebuah kebetulan, jika akhirnya keluarga Kalang ini kembali mengikuti jejak leluhurnya di bidang usaha angkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar