Rabu, 06 Mei 2009

Wungkal

Peralatan yang yang digunakan dalam industri kerajinan logam tembaga, yang terbuat dari batu berfungsi untuk mengasah alat-alat yang digunakan.

Wungon

Salah satu jenis puasa di lingkungan masyarakat Jawa (Kejawen), yang disebut juga puasa pamungkas, dimana yang menjalaninya tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

Wrana

Juga biasa disebut rana, kelir dan aling-aling¸ adalah dinding tembok yang posisinya berada di belakang pintu atau regol, berfungsi sebagai penghalang fisik dan visual dari wilayah luar ke wilayah dalam atau dari zona public ke privat.

Selain fungsi penghalang pandangan langsung tersebut, dengan membelokkan sifat/sumbu visual, secara simbolik wrana bertindak sebagai pencegah datangnya marabahaya dari luar. Oleh karena itu keberadaan wrana sering dikombinasi dengan sejumlah perangkat tolakbala lainnya. Di Masjid Mataram Kotagede, terdapat sejumlah kemamang atau kala (topeng atau wajah raksasa) pada badan dinding tembok. Ini merupakan cara penyelesaian yang biasa dilakukan dari masa pra-Islam.

Wong Kalang

Pada awalnya wong kalang hidup di beberapa tempat, dan tersebar di Pulau Jawa, terutama di beberapa di daerah Jawa Tengah. Mereka mengembara dari hutan ke hutan yang lain. Di Jawa Tengah, wong Kalang terdapat di daerah: Sragen, Sala, dan Prambanan. Sedang di Yogyakarta wong kalang ini terdapat di Tegalgendhu Kotagede. Wong Kalang di Kotagede ini, dikumpulkan dan bertempat tinggal tetap pada waktu pemerintahan Sultan Agung (kurang lebih tahun 1640). Saat ini sudah sangat sulit untuk membedakan wong Kalang dengan penduduk Kotagede pada umumnya. Namun apabila dicermati, dapat ditemukan adat kebiasaan dan tabiat yang berbeda dari wong-wong Kalang tersebut. Wong Kalang biasanya menggunakan barang-barang dari emas dan berlian yang mewah, dan berbeda dengan penduduk Kotagede pada umumnya pada waktu menghadiri pesta maupun perjamuan yang lain.

Wong Kalang di Kotagede yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Kalang Obong (geseng) dan Kalang Kamplong. Kalang Kobong mempunyai kebiasaan membakar boneka sebagai lambang orang yang telah meninggal, pada hari keseribu (nyewu). Golongan Kalang sebenarnya sudah dikenal dalam prasasti Jawa Kuna. Prasasti Harinjing A (804 M), misalnya menyebut tuha kalang (ketua kelompok kalang), selain itu disebut pula dalam prasasti Panggumulan (904 M) dengan istilah Pandhe Kalang (tukang kayu).

Pada abad XVII sebutan wong kalang muncul lagi, yaitu ketika Sultan Agung membuat wong kalang menetap di Jawa Tengah pada tahun 1636. Catatan bangsa Eropa tentang golongan ini antara lain adalah bahwa mereka yang berada di Rembang dan Pati waktu itu bekerja sebagai penebang pohon. Catatan lain lebih memperjelas keberadaan mereka di Jawa tengah, yaitu menebang dan mengangkat kayu; membuat “gorab” dan kapal perang; mereka juga memiliki sejumlah ketua yang salah satunya bergelar Tumenggung.

Gelombang kedatangan wong kalang di Kotagede terjadi pada abad XVIII yang pada waktu itu telah dibagi dua, yaitu sebagian untuk Kasultanan Yogyakarta dan sebagian lagi untuk Kasunanan Surakarta, kecuali pasar, mesjid, dan Pasareyan Agung. Dorongan kedatangan wong kalang di Kotagede secara garis besar ada dua hal, yaitu: sifat pengembaraan yang turun menurun, dan bakat alamiah mereka dalam bidang perdagangan dan pelayanan jasa umum, serta kewirausahaan dlam berbagai bidang.

Pada abad XIX, wong kalang mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian di Kotagede secara khusus. Mereka pada waktu itu bertempat tinggal di wilayah Tegalgendhu. Mereka menguasai perdagangan berbagai komoditi serta jasa, seperti transportasi dan pegadaian.

Pada abad XX M, pengertian kalang dikaitkan dengan tukang kayu (perajin kayu) atau petugas kehutanan. Di Keraton Surakarta dikenal abdi dalem kalang (tukang kayu) yang bekerja sama dengan abdi dalem narawreksa. Di Keraton Yogyakarta beberapa waktu yang lalu dikenal abdi dalem gowong. Wong kalang mendiami beberapa kota dan daerah tertentu, seperti Tegalgendhu (Kotagede), Petanahan dan Ambal di Kebumen, Pekalongan, Semarang, Walikukun, Madiun, Tulungagung, Surabaya, dan Bayuwangi.

Claude Guilot, sejarahwan Prancis, secara khusus melakukan studi terhadap ‘wong kalang’ dan diantaranya adalah yang menetap di Kotagede. Sebuah keluarga golongan Kalang yang menjadi salah satu narasumbernya yaitu keluarga Asijah Prawirosularso, menjadi akrab dengan Guliot ketika penelitian berlangsung sehingga dengan sangat ramah melayani berbagai keperluan penelitiannya, termasuk penginapan.

Keluarga ini menceritakan bagaimana leluhurnya mengembara hingga menetap di Gombong. Pada awal abad XVIII, leluhur yang masih diingat namanya, yaitu Mertawangsa, memiliki perusahaan dagang dan pegadaian, dan akhirnya pindah ke Kotagede pada akhir abad XVIII. Lokasi ini dianggap strategis karena, selain hanya sekitar 6 Km dari pusat pemerintahan Yogyakarta, juga karena Kotagede pada saat itu berada di wilayah dua pemerintahan sekaligus, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.

Generasi berikutnya, yaitu Mertasetika, berperan aktif ketika perang Dipanegara. Pada waktu itu, Kotagede selain sebagai pusat perdagangan dan ekonomi juga menjadi pusat pembuatan senjata, karena Kotagede merupakan pusat perajin mranggi dan pandhe wesi (pande besi). Kedudukannya semakin terpandang, sehingga salah satu anaknya yang bernama Brajasemita diangkat oleh Keraton Yogyakarta sebagai demang pada sekitar tahun 1850. Anak perempuan Demang Brajasemita yang lahir tahun 1857 akhirnya masuk Islam dan berganti nama menjadi Fatimah. Fatimah kemudian menikah dengan sepupunya yang tidak masuk Islam, yaitu Mulyasuwarna, pada tahun 1872.

Pasangan yang menikah pada usia 17 dan 15 tahun ini semakin akrab dengan kalangan istana Keraton Yogyakarta karena keduanya memang ulet dan memiliki jiwa wirausaha yang besar. Pasangan ini kaya raya juga memiliki status yang tinggi di kalangan masyarakat Kotagede. Tidak mengherankan jika anaknya, Prawirasuwarna, yang lahir pad tahun 1873 ketika remaja begitu leluasa keluar-masuk istana Yogyakarta, termasuk bermain-main dengan pangeran yang nantinya menjadi Sultan Hamengku Buwana VIII.
Keluarga ini semakin kaya ketika mendapat hak mengelola rumah gadai, meskipun rumah gadai ditutup pada awal abad XX. Hak ini diterima dari Keraton Surakarta yang tetap mempertahankan lembaga pegadaian di wilayahnya, termasuk Kotagede. Mereka terus membeli hak mengelola rumah gadai hingga berjumlah sebelas dan pengelolaannya dititipkan kepada kerabat-kerabatnya. Pelanggan terbesarnya adalah keluarga ningrat sehingga perusahaan mereka benar-benar mirip sebuah bank swasta yang sukses; dan ini juga berkat dukungan anaknya yang bernama Noerijah.

Di samping itu, bisnis lainnya, yaitu perdagangan emas dan berlian juga berkembang sama baiknya sehingga keluarga ini menjadi semakin kaya dan terpandang. Van Mook bahkan menulis bahwa pada saat itu Kotagede menjadi pusat perdagangan yang terbesar di Hindia Belanda.

Pusat permukiman mereka ada di Tegalgendhu dengan gaya bangunan yang khas Eropa dengan dominasi mosaik dan tegel yang mewah. Mereka bahkan memiliki pembantu wanita dari keturunan Tionghoa dan Eropa, sebuah gengsi yang sangat tinggi.

Pada masa pendudukan Jepang, keluarga ini mengungsi dari Tegalgendhu menuju sebuah dusun yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari Kotagede. Selain penjarahan, harta berupa emas dan berlian yang dititipkan kepada orang asing untuk diselamatkan di Amerika Serikat, tidak dapat diambil kembali setelah perang usai. Dengan dukungan anaknya Noerijah, Prawirasuwarna berusaha membangun kembali kedudukan dan perannya dalam roda ekonomi, dan selama itu pula mereka mendukung keluarga Sultan Yogyakarta.

Ketika Indonesia Merdeka dan Belanda kembali ke Indonesia, pemerintahan Soekarno untuk sementara pindah ke Yogyakarta. Sultan Yogyakarta bersedia memberikan perlindungan dan dukungan dana kepada pemerintah yang masih miskin ini, dan seperti biasanya, dukungan dana juga melibatkan golongan Kalang. Namun, pasca perang menyebabkan keluarga itu terpisah-pisah sehingga tidak sekuat dulu lagi.

Kerugian akibat perang ditambah dengan pembauran wilayah Yogyakarta dengan Republik Indonesia yang antara lain juga berdampak kepada nasionalisasi rumah-rumah gadai, mendorong keluarga ini mengubah haluan bisnisnya. Bidang usaha yang mereka geluti setelah itu adalah bidang wisata, khususnya perhotelan dan biro perjalanan, serta angkutan termasuk perusahaan bis. Mungkin sebuah kebetulan, jika akhirnya keluarga Kalang ini kembali mengikuti jejak leluhurnya di bidang usaha angkutan.

Witana, Cungkup

Salah satu dari tiga cungkup makam yang terdapat dalam Pasareyan Ageng, Kotagede. Bangunan rumah dalam makam yang dibuat oleh Kraton Yogyakarta, dengan gaya Jawa, bangunan kayu yang sederhana tetapi cukup indah. Ada sekitar 15 makam, diantaranya yang terpenting adalah makam walinegara Mataram pada zaman kekuasaan Pajang, juga pendiri Kotagede, Kyai Ageng Mataram (wafat 1575) dan makam istrinya Nyai Ageng Mataram, makam anaknya Panembahan Senopati (wafat 1601), makam pembantu dan patihnya Kyai Ageng Jurumartani dan makam Tumenggung Mayang yang sewaktu ditangkap oleh Sultan Pajang menjadi salah satu sebab pemberontakan Sutawijaya terhadap Pajang.

Bangunan ini dipercaya memiliki kekuatan mistik untuk memberikan ramalan akan datangnya kemalangan di dalam kerajaan Mataram dengan keluarganya asap dan nyala api yang kuning kemerah-merahan dari atasnya. Kejadian paling akhir atas misteri, terjadi pada malam tanggal 1 Oktober 1965, malam sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S PKI yang gagal. Beberapa juru kunci yang bertugas malam itu melihat asap dan nyala api yang kemerah-merahan yang berasal dari atas cungkup Senapati dan pada hari berikutnya mendengar terjadinya salah satu peristiwa paling tragis di dalam sejarah Indonesia Merdeka.

Wong Asu, Legendha

Salah satu legenda tentang asal usul Orang Kalang. Pada zaman dahulu ada seorang raja yang sedang berburu di hutan. Di dalam hutan beliau kencing. Beliau tidak tahu bahwa air kencingnya tertampung di dalam tempurung kelapa yang tinggal setengah. Tidak lama kemudian ada seekor babi hutan lewat dan meminum air yang ada di dalam tempurung. Keajaiban terjadi, babi hutan itu hamil dan melahirkan seorang anak berujud manusia. Anak tersebut sangat cantik.

Dua puluh tahun kemudian, bayi babi hutan telah dewasa. Ia sangat senang bertenun. Oleh karena itu setiap hari ia menenun, di panggung. Tiba-tiba alat tenunnya jatuh ke tanah. Karena tempatnya tinggi dan untuk mengambilnya sukar maka ia menyatakan ikrar yang berbunyi barang siapa yang dapat mengambilkan alat tenun ke hadapannya, kalau perempuan akan dijadikan saudara kandung kalau laki-laki akan dijadikan suami dan kalau binatang akan dijadikan piaraannya dan akan dijadikan keluarganya. Pada waktu itu lewatlah seekor anjing jantan yang mendengar ikrar putri tersebut. Kemudian si anjing mengambilkan alat teropong/tenun dan diletakkan di dekat putri. Sungguh, sejak saat itu si anjing menjadi piaraannya dan juga menjadi keluarganya.

Akhirnya si anjing menjadi suaminya dan menghasilkan seorang anak laki-laki, yang bernama Jaka Sona. Ia senang berburu. Pada suatu hari ia berburu di hutan ditemani anjingnya (ayahnya). Di hutan ia bertemu babi hutan (neneknya). Kemudian si anjing disuruh mengejar tetapi anjing tidak mau. Karena marahnya anjing dibunuh dan babi hutan juga dibunuh. Sesampainya di rumah Jaka Sona menceritakan bahwa ia telah membunuh anjing dan babi hutan. Ketika ibunya mendengar cerita anaknya lalu ia mengatakan bahwa sesungguhnya anjing itu ayahnya dan babi hutan itu neneknya.

Mendengar penuturan ibunya Jaka Sona merasa sangat menyesal. Karena itu ia meninggalkan rumahnya tanpa pamit pada ibunya. Ia pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain sampai bertahun-tahun. Akhirnya Jaka Sona kembali ke tempat asalnya. Di sini ia bertemu wanita cantik dan jatuh cinta. Bahagialah rasa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Akhirnya mereka menikah. Pada suatu hari si istri melihat belang di kepala suaminya dan ia tidak pangling bahwa suaminya itu tidak lain anaknya sendiri. Setelah ia mengetahui lalu meninggalkan rumah tanpa pamit. Selanjutnya Jaka Sona kawin lagi dan mempunyai seorang putra yang diberi nama Kalangjoyo. Kalangjoyo inilah yang dianggap nenek-moyang Orang Kalang. Dilihat dari Kalangjoyo.

Wisiking Trus Pandhita Nata, Sengkalan

Sengkalan dibuat untuk menandai perbaikan sendhang atau kolam Seliran. Wisiking berarti bisikan atau ilham, melambangkan angka 6, trus berarti terus atau langsung. Melambangkan angka 9, pandhita (pendeta) melambangkan angka 7, dan nata (raja) melambangkan angka 1.

Jika diurutkan secara terbaik, maka akan menjadi angka 1796 tahun Jawa atau Tahun 1867 M, sebagai tahun perbaikan Sendhang Seliran tersebut. Makna kalimat ini adalah ilham atau bisikan yang dating langsung kepada raja pendeta untuk memugar atau memperbaiki Kolam Seliran. Dengan kata lain, Sri Sultan Hamengkubuwana VI telah mendapat ilham untuk memugar sendhang.

Wisamarta, Abdi Dalem

Salah satu Abdi Dalem Prajurit Sabinan pada zaman Keraton Mataram yang bertugas menjaga pintu gerbang sebelah utara dan selatan pada sisi luarnya. Wisamarta artinya meredalam bisa (wisa), maupun racun. Abdi Dalem Wisamarta ini berjumlah 22 orang.

Wirog

Kepanjangannya adalah Warga Islam Rukun Olehe Sesrawungan. Merupakan gerakan social di dalam komunitas Kampung Selokraman dan Jayapranan pada tahun 1986-an. Melakukan banyak aktivitas di bidang olahraga dan musik, dengan motor penggerak Solahudin.

Wirokerten, Kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di Kampung ini terletak sekitar 400 meter sebelah timur dari Pasar Kotagede. Sebelah selatan terletak kampung Mutihan, dan sebelah Timur terletak Kampung Selakraman. Secara administratif sekarang menjadi nama desa, yang termasuk dalam Kecamatan Banguntapan. Sebutan Wirokerten, diduga berasal dari nama Pangeran Wirokerto yang merupakan kerabat Panembahan Senopati.

Wirid

Jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.

Wingko, Makanan

Makanan khas yang berasal dari Kotagede, berbentuk bulat, bewarna putih kecoklatan, sebagai warna asli dari hasil pengolahan melalui oven. Pada beberapa penyajian juga dibuat dalam bentuk potongan-potongan kecil segi tiga maupun segi empat Wingko rasanya manis dan gurih.
Makanan tradisional ini dibuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa, dibubuhi vanili sebagai aroma, dan pemanis gula pasir. Adonan ini selanjutnya dicetak dan dioven.

Winong, Kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di sebelah Barat Laut Pasar Gede tepatnya sebelah Timur S. Gajahwong, termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan Prenggan. Sebutan Winong, diduga berasal dari pohon Binong (Tetrameles nudiflora), yang merupakan sejenis tanaman kayu-kayuan, yang tingginya bisa mencapai 50 m. Diduga di masa lalu terdapat pohon winong, yang cukup besar, sehingga menjadi penanda bagi tempat ini. Di lokasi ini, sejak akhir tahun 1970-an, kemudian dibangun Perumahan bagi lingkungan Pegawai Negeri Sipil DIY.

Winayang Rasa Wisayaning Ratu, Sengkalan

Sengkalan yang bermakna angka tahun 1566 Jawa atau 1664 M ini dibuat untuk menandai diresmikannya bangsa Dhudha oleh Sultan Agung. Makna kalimatnya adalah bahwa pembangunan bangsa Dhudha dilakukan karena keinginan raja (inisiatif Sultan Agung). Sementara itu makna angka dalam kalimat ini adalah: winayang (digerakkan) bermakna angka 6, rasa (rasa) melambangkan angka 6, wisayaning (kehendak) melambangkan angka 5, dan ratu (raja) bermakna angka 1 atau jika dibalik dan diurutkan menjadi 1566.
Peresmian bangsal Dhudha ditandai dengan dua sengkalan, yang satunya adalah hangga-hangga tinulup nangisi putra.

Wingit

Istilah untuk sesuatu yang dianggap angker, sakral, keramat dan mempunyai daya magis.

Wewe

Lelembut berkelamin wanita yang suka menculik ini, memiliki buah dada besar menjulur ke bawah hingga ke perut, berambut terurai panjang tidak teratur, dan mengenakan kain panjang sebatas perut. Seperti jin, lelembut ini dapat memba mengelabui orang yang diculiknya. Biasanya, orang yang diculik wewe merasa diajak oleh salah seorang saudaranya atau kenalannya ke pasar atau ke tempat-tempat tertentu yang sudah dikenal. Orang yang diculik wewe akan mengalami kelainan jiwa, sakit atau meninggal.

Selain mencilik orang dewasa, makhluk ini juga menulik anak-anak. Mereka yang diculik dan dijepit dengan ketiaknya, dibawa keluar desa, dan ditempatkan diatas dahan pohon yang tinggi. Salah satu kegemaran makhluk penculik ini ialah menjemur celana dalamnya –terbuat dari robekan kain panjang- diatas dahan pohon beringin di pagi hari. Jika seseorang dapat mencuri celana dalam wewe yang sedang dijemur ia akan menjadi sakti dan dapat berkomunikasi dengan makhluk halus.

Wela

Makanan khas Kotagede berbentuk segitiga dengan rasa manis, di dalamnya diisi dengan tempe. Asal-usul nama ini, pertama kali terjadi, pada saat para abdi dalem disuguhi makanan ini oleh penduduk Kotagede, setelah mencicipi, ia heran dan merasa unik bentuk dan rasanya. Maka, ia berkata: “..we lha,…kok kaya ngene..” maksudnya ..”wah rasa kue ini kok seperti ini, enak dan gurih..”. Sejak saat itu makanan tersebut dikenal dengan nama wela. Makanan ini bisanya disajikan sebagai pelengkap Soto Kotagede.

Wetan Omah

Adalah penyebutan local Kotagede terhadap gandhok kiwe dari rumah Jawa, yakni bangunan turutan yang berada di sisi timur (Jw: wetan) dari dalem atau rumah induk (dalam bahasa Jawa disebut: omah). Wetan omah tidak selalu ada dalam konfigurasi rumah tradisional di Kotagede.
Wetan omah biasanya adalah zona laki-laki, dan berfungsi sebagai ruang duduk untuk menerima tamu yang dianggap dekat/ akrab. Sehubungan dengan itu, wetan omah memiliki pintu tersendiri, yang dalam gubahan baku rumah Jawa adalah seketheng.

Wegeng, Abdi Dalem

Sebutan bagi pejabat pemerintahan Keraton Mataram dalam Sruktur Punggawa Raja yang mempunyai keahlian dalam pembuatan batu nisan. Kedudukan Abdi Dalem Wegeng ini menjadi semakin penting sejalan dengan aksistensi Komplek Pasareyan Kotagede.

Wedhon

Makhluk halus yang berasal dari roh manusia mati yang ikatan tali kafannya tidak dilepas. Ia berujud mayat terbungkus kain kafan –disebut juga sebagai pocngan- dan bergerak meloncat-loncat. Tempat tinggalnya ada di pekuburan.

Wedangan Yu Hadi

Warung yang terletak di Pasar Kotagede, tepatnya di bagian emper sebelah Utara. Merupakan warung makan minum yang baru mulai buka kurang lebih jam 21.00, setelah warung-warung lauk pauk yang buka pada sore harinya tutup. Dan baru tutup lagi setelah para pedagang sayur mulai berdatangan menjelang Shubuh. Dapat dikatakan menjadi salah satu mata rantai dari siklus 24 jam warung di Kotagede terus ada dan tetap buka. Selain makanan dan minuman yang menjadi standar jajanan malam, minuman yang menjadi ciri khas adalah wedang kunir asem.

Wedana Miji

Berasal dari kata miji yang artinya memilih Pejabat Tinggi di dalam tata pemerintahan Keraton Mataram, selain Wedana Lebet. Wedana Miji ini sebanyak dua orang yang dipilih oleh raja untuk mengurusi tugas-tugas tertentu. Tanggung jawab atas tugas-tugas yang diemban oleh Wedana Miji ini langsung di bawah raja. Pada saat ini kedudukan Wedana Miji selama dengan kedudukan Bupati/Walikota (sebagai Stadhoider in the city). Rouffaer menyebut Wedana Miji tersebut sebagai Administrateur van het kroondomein.

Pada akhir pemerintahan Sultan Agung, salah satu dari Wedana Miji tersebut adalah Tumenggung Danuupaya, yang diganti oleh Wijiraya dalam jabatannya sebagai Stadeholder in Mataram. Sedangkan Wedana Miji yang lain (kedua) adalah Nitinegara.

Sebelumnya dikenal adanya dua orang Tumenggung Mataram (yang dimaksud adalah Tumenggung-tumenggung Mataram proper, yaitu Tumenggung-tumenggung dari wilayah Kutagara, yang tidak lain adalah Wedana-wedana Miji), yaitu Tumenggung Endranata dan Kiyai Demang Yudaprana.

Pada dasarnya kedudukan kedua Wedana Miji ini adalah sangat penting, karena bersama dengan keempat Wedana Lebet-berperan sebagai anggota Dewan Tertinggi di Keraton Mataram. Akan tetapi pada zaman Kartasura (1744) pengurusan daerah Narawita diserahkan kepada empat orang pejabat, dengan dikepalai oleh seorang Wedana.

Wedana Lebet

Pejabat tinggi pada zaman Keraton Mataram yang berada di daerah Khutagara, bertugas mengatur tata pemerintahan, yang terdiri atas 4 orang Wedana Lebet, yaitu: Wedana Gedhong Kiwa, Wedana Gedhong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, Wedana Keparak Tengen. Wedana Gedhong merupakan pejabat tinggi Keraton Mataram yang mengurusi masalah perbendaharaan masalah keuangan keraton, sedangkan Wedana Keparak merupakan pejabat tinggi Keraton Mataram yang mengurusi masalah keprajuritan dan pengadilan. Wedana Gedhong beserta para panekarnya berkewajiban menerima upah dari para raja dan pajak dari semua Bupati Pesisiran.

Para Wedana Lebet, biasanya bergelar Tumenggung atau Pangeran (apabila yang bersangkutan masih keluarga raja). Sebelum tahun 1628 (masa pemerintahan Keraton Mataram Kotagede maupun Pleret), Wedana-wedana Lebet (Wedana Keparak) Keraton Mataram adalah: Pangeran Upasanta. Sedangkan Wedana-wedana Lebet (Wedana Gedhong) Keraton Mataram adalah: Pangeran Manungoneng dan Pangeran Suyanapura.

Setiap Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon (pepatih atau lurah carik) yang biasanya bergelar Ngabehi, seorang Kebayan, biasanya bergelar Ngabehi, Rangga, atau Raden, dan 40 orang Mantri-mantri Jajar. Meskipun para Wedana Lebet menurut tugasnya adalah khusus mengurusi pemerintahan dalam Keraton Mataram, tetapi dalam prakteknya dapat mengurusi sampai wilayah yang lebih luas.

Wedana Keparak

Pejabat tinggi dalam struktur birokrasi pada zaman Keraton Mataram, berada di bawah koordinasi Wedana Lebet yang terdiri atas Wedana Keparak Kiwa (kiri), dan Wedana Keparak Tengen (kanan). Wedana Keparak bertanggung jawab terhadap masalah keprajuritan, dan pengawas dalam pelaksanaan pengadilan yang berlangsung di dalam keraton, Wedana Keparak biasanya bergelar Tumenggung, namun ada pula yang bergelar Pangeran, apabila yang bersangkutan masih keluarga raja.

Wedana Jawi

Pejabat-pejabat tinggi pada zaman Keraton Mataram yang berada di daerah Negara Agung yang masih merupakan bagian dari pusat Keraton Mataram, bertugas di bidang administrasi pemerintahan. Wedana-wedana Jawi ini dipimpin/dikoordinir oleh Patih Jawi. Patih Jawi ini bertanggung jawab atas kelancaran jalannya pemerintahan di luar daerah Kuthagara, termasuk di dalamnya pengurusan pemasukan bagi Keraton Mataram dari pajak-pajak yang diperoleh daerah wewenangnya, di samping pengumpulan tenaga-tenaga lascar dari orang-orang desa, apabila sewaktu-waktu diperlukan.

Wedana Jawi jumlahnya sesuai dengan daerah-daerah yang menjadi bagian dari Negara Agung, dengan nama sesuai daerah yang menjadi wewenangnya. Sehingga ada delapan orang Wedana Jawi, yaitu: Wedana Bumi merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Bumi, Wedana Bumija merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Bumija, Wedana Siti Ageng Kiwa merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Siti Ageng Tengen, Wedana Sewu, merupakan Jawi yang menguasai daerah Sewu, Wedana Numbakanyar, merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Numbakanyar, Wedana Panumping merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Panumping, Wedana Panekar merupakan Wedana Jawi yang menguasai daerah Panekar.
Masing-masing Wedana Jawi bertempat tinggal di daerah Kutagara, dan dibantu oleh seorang Kliwon (pepatih atau lurah-carik) yang biasanya bergelar Ngabehi, seorang Kebayan biasanya bergelar Ngabehi, Rengga, atau Raden, dan 40 orang Mantri-mantri Jajar.

Untuk keperluan pengawasan langsung terhadap masing-masing wilayah Negara Agung, diangkat Bupati-bupati dan pejabat-pejabat di bawahnya. Dalam mengurus tanah-tanah lungguh dan para bangsawan keraton yang juga terdapat di daerah Negara Agung, biasanya oleh bangsawan yang bersangkutan diangkat seorang Demang atau Kiyai Lurah.

Weca

Kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang.

Wedana Gedhong

Merupakan Abdi dalem di zaman Keraton Mataram yang berada di bawah koordinasi Wedana Lebet. Wedhana Gedhong bertanggung jawab terhadap segala kepentingan rumah tangga Keraton, keamanan, dan pegadilan di dalam keraton). Wedhana Gedhong terdiri atas Wedana Gedhong Kiwa (kiwa), dan Wedhana Gedhong Tengen (kanan).

Wayang Wong

Salah satu jenis drama tari tradisional Jawa, yang disebut juga wayang orang. Pada mulanya merupakan dramatari yang hanya dapat dipentaskan di lingkungan kraton saja. Menurut sejarah, jenis wayang ini diciptakan kembali oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada akhir tahun 1750-an. Namun pada awal abad 20, seni ini mulai berkembang sebagai seni pertunjukan rakyat, yang biasa dipentaskan di suatu gedung tertentu secara tetap atau secara berkeliling oleh kelompok seni yang dimiliki rakyat. Bahkan pada masa tertentu menjadi lahan bisnis, yang pada masanya pernah mencapai masa keemasan.

Terdapat anggapan bahwa wayang wong merupakan format paling sempurna bagi sebuah pertunjukan opera Jawa. Mengingat didalamnya kita jumpai perpaduan yang harmonis antara drama dengan cerita yang dibawakan dengan dialog prosa Jawa. Tata tari diiringi alunan instrumen gamelan sebagai pengiringnya, yang dilngkapi dengan niyaga (penabuhnya) dan vokalisnya (sinden). Dalam pementasan, terdiri dari banyak adegan yang dibawakan oleh banyak pemain, yang biasanya telah memiliki spesialisasi dalam masing-masing tokohnya.

Setting cerita biasanya diangkat dari legenda Mahabarata atau Ramayana. Biasanya di samping, menari, para pemain juga berbicara dan menyanyi, sesuai dengan adegan yang dilakukannya. Pada mulanya, ketika masih dipertunjukkan di dalam kraton, wayang wong bisa memakan waktu pertunjukan berhari-hari, dari awal erita hingga akhir. Namun dalam perkembangannya, hanya dipertunjukkan dalam beberapa jam saja. Bahkan dalam wayang wong keliling, dalam satu hari bisa lebih dari satu judul pertunjukan yang berbeda.

Watu Gilang, Cungkup

Bangunan yang terdapat di Kampung Dalem dan berfungsi khusus untuk menutup peninggalan purbakala berupa watu gilang, watu gatheng, dan tempayan batu.
Awalnya, cungkup ini berupa bangunan sederhana dan terbuka tanpa dilengkapi dengan dinding. Bangunan berbentuk cungkup yang menghadap ke timur dengan ukuran 6,60 x 3,75 meter, tersusun dari bahan lepa (perekat dari campuran pasir dan semen).
Bangunan cungkup (pelindung Watu Gilang dan Watu Gatheng dan Watu Genthong) dibangun pada tahun 1934 M, hampir bersamaan dengan Kompleks Pasareyan Hastarengga yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwana VIII.

Wayang Thingklung

Merupakan salah satu jenis kesenian wayang kulit yang secara khas masih bertahan di Kotagede. Ciri spesifik wayang thingklung adalah dhalang selain berperan menguasai jalan cerita dan memainkan wayang, juga melantunkan sendiri instrumen pengiring dengan suaranya. Sehingga dalam wayang thingklung tidak ada pengiring apapun, baik waranggana/sindhen maupun instrument gamelan.

Dalang dituntut untuk mampu menirukan suara gamelan pengiring dan menyelaraskan dengan dialog-dialog di setiap lakon yang muncul. Pada awalnya wayang ini menggunakan bahan kardus/karton namun kemudian diganti dengan bahan kulit.

Salah satu dhalang wayang thingklung yang ada di Kotagede bernama Mujiran alias Ki Tjermo Mudjihartono dari Dusun Karangduren. Pada beberapa kesempatan pentas, sering dikenal dengan nama Tjermo SM. Singkatan dari Tjermo Sumedi dan Marijan. Seperangkat wayang kulit yang dimiliki merupakan koleksi pribadi. Lakon-lakon yang sering dibawakannya adalah Babad Alas Martani, dan Antasena Takon Bapa. Keberadaan wayang thingklung ini pada awalnya menjadi salah satu seni pertunjukan yang khas bagi kesenian wayang yang berkembang di Kotagede.

Beberapa dhalang yang lain, adalah Ki Wajiman yang beralamat di Purbayan, dan Ki Parjudi yang beralamat di Gedhongan.

Watu Genthong

Sebuah tempayan batu, pada masa lalu digunakan sebagai tempat menampung air untuk berwudhu para penasehat Panembahan Senapati. Terbuat dari batu andesit dengan penampang bulat telur, berukuran tinggi 50 cm dan diameter 57 cm (Inajati, 2000: 5657). Watu Genthong atau tempayan batu ini sekarang disimpan di dalam Cungkup Watu Gilang.

Watu Gilang

Batu pipih sebagai tempat duduk Panembahan Senapati melakukan tapa brata (bersemadi), dan menerima nasehat dari Lintang Johar. Cerita lain menyebutkan, bahwa Watu Gilang juga pernah digunakan Panembahan Senapati untuk membenturkan kepala Ki Ageng Mangir hingga meninggal, yang nampak bekasnya dalam bentuk bagian sudut yang lekuk dan retak.

Watu Gilang disimpan di dalam Cungkup Watu Gilang bersama dengan Watu Gatheng; dan Watu Genthong. Benda ini dibuat dari batu andesit berwarna hitam dan berbentuk persegi dengan ukuran 140x119x12,5 cm. Di atas batu tersebut terdapat beberapa tulisan dalam empat bahasa, yaitu: Latin, Perancis, Belanda, dan Itali.
Adanya berbagai tulisan dalam aneka bahasa menunjukkan bahwa setelah ibukota dipindahkan dari Kotagede ke Pleret, Watu Gilang bergeser tingkat kesakralannya.

Watu Gilang awalnya difungsikan sebagai tempat khusus Panembahan Senapati dalam rangka kegiatan rohani. Pergeseran nilai ini disebabkan disebabkan karena Kotagede tidak lagi dijadikan sebagai pusat Keraton Mataram, sehingga acara perlahan-lahan nilainya pun ikut berubah. Pergeseran tingkat kesakralan Watu Gilang dapat dilihat pada banyaknya prasasti pendek dipermukaannya yaitu :

ITA MOVETUR MUNDUS (Bahasa Latin),
AINSI VALE MONDE (Bahasa Perancis),
ZOO GAAT DE WERELD (Bahasa Belanda), dan
COSI VAN IL MONDO (Bahasa Itali).

Kalimat-kalimat tersebut disusun secara melingkar. Di dalam lingkaran tersebut terdapat tulisan dalam Bahasa Latin yang berbunyi:
AD AETERNAM MEMORIAM SORTIS INFELICIS artinya kurang lebih adalah: Untuk memperingati nasib yang tidak baik.

Selain itu, di dalam lingkaran terdapat kalimat lain yang berbunyi:
IN FORTUNA CONSORTES DIGNI VALETE, QUID STUPEARIS AINSI, VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMITE VOS CONSTEMTU VERE DIGNI, artinya kurang lebih adalah: Selamat jalan kawan-kawanku. Mengapa kamu sekalian menjadi bingung dan tercengang. Lihatlah wahai orang-orang yang bodoh dan tertawalah, mengumpatlah, kamu yang pantas di caci maki.
Sementara itu di dalam lingkaran yang lebih kecil terdapat huruf IGM yang diduga singkatan dari IN GLORIAM MAXIMAN, artinya: untuk keluhuran yang tertinggi.

Di dalam batu gilang tersebut juga terdapat gambar segitiga, pada sudut kanan terdapat tulisan QUID STUPEARIS yang dilanjutkan dengan tulisan VID, LEG, INV, dan CUR.
VID kependekan dari VIDETE artinya: lihatlah, LEG kependekan dari LEGETE artinya: bacalah, INV kependekan dari INVENITE artinya rasakanlah, dan CUR kependekan dari CURRITE artinya berjalanlah (mengelilingi Watu Gilang)

Mulai dari kata CONTEMNITE ke arah kiri terdapat tulisan GI>, IC, LX, IX, I> (mungkin 1>> atau D>).
Di depan IX terdapat tulisan seperti huruf M. selain itu terdapat angka Romawi I>LXIX atau CI>I>>LXIX berarti angka tahun tahun 1569 atau 1669.

Di luar segitiga besar, diatas tulisan QUID STUPEARIS INSANI terdapat tulisan VAETE terdapat tulisan AMELAN, di bawah tulisan itu terdapat tulisan SONGUTP. Menurut Serrurier tulisan tersebut di atas seluruhnya dapat dibaca AMELAN (CHO) LIC.

Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang tulisan-tulisan tersebut memang sulit. Siapa penulisnya, apa maksudnya dan apakah tulisan itu dalam waktu yang sejaman dan oleh tangan yang sama, masih merupakan teka-teki. Banyak kemungkinan jawaban diberikan tetapi kebenaran seluruhnya perlu dipertimbangkan. Memang demikianlah yang terjadi pada prasasti pendek. Perlu disebut di sini bahwa disamping tulisan-tulisan tersebut terdapat pula tanda tangan.

Watu Gatheng, Permainan.

Salah satu permainan tradisional yang hidup dalam masyarakat Kotagede. Perlengkapan yang diperlukan: Batu kerikil yang berukuran sama dan rata berjumlah 5 buah. Arena berukuran 0,5 x 0,5 m di atas tanah atau di lantai.

Cara Bermain: Permainan ini dilakukan oleh 4 orang. Mereka duduk mengitari tempat permainan. Kemudian urutan pemain ditentukan oleh hompimpah atau pingsut. Pemain yang menang melakukan permainan (saku). Mula-mula kelima watu gatheng digenggam di tangan kanan, salah satu batu yang digenggam dilempar ke atas sambil mengambil empat batu yang bertebaran di tanah sebelum batu yang dilempar ke atas itu jatuh menyentuh tanah. Jika batu gagal diambil semua atau menyenggolnya maka pemain berada dalam posisi “mati’ dan digantikan oleh pemain lainnya.

Langkah kedua disebut garo, pemain melempar sebuah batu dan pemain mengambil dua buah batu bersamaan. Apabila gagal berarti mati tetapi apabila berhasil maka permainan diteruskan. Tahap selanjutnya adalah galu, gapuk, umbul, garuk, dulit, dan sawah. Fungsi : watu gatheng dimainkan untuk mengisi waktu senggang

Wangsit

Disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.

Watu Gatheng

Menurut cerita, ketiga batu bulat ini merupakan alat permainan bagi putra Panembahan Senapati, yaitu Raden Rangga. Berupa tiga buah batu bulat yang disimpan di dalam Cungkup Watu Gilang. Watu Gatheng ini disimpan dalam satu bangunan (cungkup) yaitu Cungkup Watu Gilang bersama dengan Watu Gilang.

Watu Gatheng jumlahnya ada tiga buah dan dibuat dari batu kalsit berwarna kuning. Ketiga benda tersebut berbentuk bulat, masing-masing dengan diameter 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Ketiganya diletakkan di atas semacam lapik arca.

Waru, Pohon

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman rumah tradisional Kotagede. Memiliki nama ilmiah Hibiscus tiliaceus. Termasuk suku Malvaceae memiliki tinggi antara tinggi 5-15 m dan tumbuh di dataran rendah. Umumnya ditanam sebagai peneduh atau tanaman pinggir jalan berbunga sepanjang tahun. Kayu berwarna putih, tetapi cepat berubah warna; terasnya berwarna coklat agak lembayung. Kayu digunakan untuk alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian, tiang rumah, pedati, atau sebagai kayu bakar. Serat batang dapat digunakan untuk tali atau kain kasar. Akar, daun, dan pepagan, digunakan dalam obat-obatan tradisional. Daun muda dapat disayur atau makanan ternak, sedangkan daun tua untuk membungkus bahan makanan seperti tempe, tape, rempah-rempah dan lain-lain.

Menurut kepercayaan orang Jawa, pohon ini ditanam memiliki tujuan agar orang yang memiliki niat berbuat jahat mengurungkan niatnya. Berdasarkan kepercayaan lama masyarakat Jawa bahwa pohon waru ditakuti oleh orang yang mau berbuat jahat, sehingga apabila bertemu pohon waru di tempat yang dituju maka ia akan mengurungkan niatnya.

Wakul

Peralatan rumah tangga tradisional yang berfungsi sebagai tempat nasi, wakul pada bagian bawahnya berbentuk segi empat, mempunyai kaki, bagian atasnya berbentuk lingkaran. Terbuat dari anyaman bambu atau aluminium dengan bermacam-macam ukuran.

Waringin Tuwa

Sebuah pohon beringin, ada yang menyebut waringin sepuh, wringin tuwa, maupun wringin sepuh. Berdasarkan cerita yang berkembang di dalam masyarakat Kotagede, dikisahkan bahwa pohon tersebut ditanam oleh Sunan Kalijaga, sebagai pertanda yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, di mana Keraton Mataram harus didirikan.
Melewati pintu masuk pertama kompleks mesjid dan makam dari jalan besar, di kiri dan kanan jalan masuk terdapat bangsal berupa bangunan terbuka tempat pendatang beristirahat. Di sebelah selatan, tidak jauh dari bangsal tersebut terdapat pohon beringin rindang yang dinamakan Waringin Tuwa yang artinya beringin tua.
Waringin Tuwa ini berdiri dengan kokoh kendati sekarang telah tumbang. Kepercayaan lama menyebutkan, jika seorang akan bepergian jauh dan memerlukan bekal kekuatan agar selamat dalam perjalanannya, disyaratkan mencari satu lembar daun yang jatuh ke tanah dalam posisi tengkurap dan satu lembar daun yang lain dalam posisi terlentang.
Kepercayaan masyarakat perihal siapakah yang menanam wringin sepuh/tuwa tersebut tidak terlepas dari Sunan Kalijaga. Seorang Sunan (tokoh agama Islam) yang mempunyai pengaruh sangat besar bagi beberapa kerajaan besar bagi beberapa kerajaan di Pulau Jawa, sejak Kerajaan Demak dan Pajang sampai dengan Keraton Mataram.
Sunan Kalijaga menjadi panutan dalam pengelolaan kerajaan (politik keagamaan) maupun pengetahuan agama Islam dari sejak Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang), Ki Gede Pemanahan (ayah Panembahan Senapati), Ki Juru Martani dan Ki Penjawi (paman, sekaligus penasehat Panembahan Senapati), dan terakhir Panembahan Senapati sebagai raja pertama di Keraton Mataram.
Sunan Kalijaga merupakan seorang di antara sembilan orang wali (Wali Sanga), yang menonjol dalam bidang budaya, keagamaan, dan kegiatan dakwah secara berkeliling. Lagu ilir-ilir, merupakan salah satu lagu ciptaan Sunan Kalijaga yang terkenal untuk mengajak orang-orang masuk ke dalam Islam.

Wajikan, Ragam Hias

Jenis ragam Hias di Rumah Tradisional Jawa di Kotagede, yang selain berfungsi sebagai memperindah juga bermakna filosofis. Hiasan pada tengah-tengah tiang atau di dinding-dinding. Bentuknya seperti wajik (makanan dari ketan). Melambangkan empat penjuru angin yaitu, barat, timur, selatan dan utara.

Wajik Kletik

Makanan tradisional Kotagede berupa makanan kecil, yang biasanya disajikan untuk menjamu tamu atau bahkan untuk oleh-oleh. Bahan baku utamanya adalah beras ketan, dengan bumbu gula kelapa, garam, panili, dan kelapa.
Cara pengolahannya: beras ketas dikukus, lalu dikaru (direbus setengah matang) dengan diberi parutan kelapa dan sisiran gula kelapa, lalu diimbuhi garam dan panili. Semuanya dicampur menjadi satu hingga kelihatan merata betul-betul. Kemudian semua adonan itu diletakkan di daun pisang dan dibuat bulat gepeng (garis tengah kurang lebih 15 cm, baru dipan (= dimasukkan dalam sejenis pemanggang roti).
Menyajikannya daun pisang setelah dikelupas semuanya, lalu diiris kecil-kecil atau dijadikan empat bagian lalu dimakan. Makanan ini bisa dihidankan pagi, siang, ataumalam hari untuk semua lapisan masayarakat.

Wajan

Wajan berfungsi sebagai tempat penggorengan dengan minyak atau untuk menyanyur. Wajan terbuat dari besi, tembaga, aluminium dsb. Wajan berbentuk bundar, bertelinga dua (untuk pegangan), dan agak cekung. Ukuran wajan bervariasi ada yang kecil, sedang dan besar. Wajan yang tidak dipakai diletakkan diatas tungku atau digantung di dinding dapur

Wadu Aji, Serat

Merupakan kumpulan serat-serat yang memberi penjelasan tentang nama-nama pangkat para Punggawa Raja yang memegang jabatan dalam Keraton Mataram. Di dalam Serat Wadu Aji ini nama kepangkatan tersebut telah dilengkapi dengan arti dan tugasnya.

Qasidah

Bentuk seni musik yang berlatar belakang budaya Islami yang biasanya dibawakan oleh kalangan wanita yang juga berkembang menjadi seni tradisi di Kotagede. Pada mulanya merupakan sajak lirik dengan metrum yang sesuai untuk dinyanyikan atau disenandungkan, baik secara tunggal atau paduan suara, atau yang kemudian berkembang dalam bentuk koor dimana penyanyi tunggal besahut-sahutan dengan paduan suara. Isinya berupa pengagungan terhadap keesaan Allah, kebesaran Rasulnya, ajakan untuk beramal dan berbuat baik, berjihad di jalan Allah serta anjuran untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Sebagai alat musik pengiring biasanya digunakan rebana, yaitu alat musik musik pukul yang berbentuk pipih agar mudah dipegang. Dewasa ini juga menggunakan alat-alat musik yang lebih modern. Jenis genre kasidah yang diiringi alat musik, sering juga disebut musik gambus.

Senin, 04 Mei 2009

YJajasan Pakarjan Ngayogyakarta

Hubungan penguasa Belanda dengan para bangsawan atau raja-raja di Yogyakarta menyebabkan dikenalnya barang-barang kerajinan perak Kotagede. Barang-barang ini sering dipertontonkan dan diberikan sebagai kenang-kenangan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Kepada para tamu kraton atau penguasa-penguasa Belanda. Kira-kira setelah Perang Dunia I, pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan kerajinan rakyat ini, dan berusaha melindungi serta membantunya, supaya hasilnya lebih maju. Dari bangsa Belanda yang membantu modernisasi kerajinan perak antara lain: J.E. Jasper (Gubernur Jogjakarta tahun 1928-1930); GesselerVerschuur (Gubernur Jogjakarta tahun 1931), Ir Sitsen, Ir. J. Moens, Ir. Gotz van der Vet, Ir. Resink, dan dari bangsa Indonesia: Ir. Soerachman, Ir. Soepardi, R.J. Katamsi, Warindijo serta dari kaum bangsawan antara lain Gusti Tedjokoesumo, G.P.H. Soerjaningprang. Tokoh-tokoh ini telah bersama berusaha memajukan Jajasan Pakaryan NGayogyakarta yang berdiri pada tahun 1929.

Masyarakat Kotagede secara langsung menjadi pendukung kerajinan perak Jogjakarta. Yang telah hidup dan berkembang dan kemajuan kerajinan perak, tetapi jika mereka ada hubungan dengan luar, pasti kerajinan perak tidak dapat berkembang, sebab masyarakat Kotagede masih ipengaruhi oleh tradisi-tradisi lama yang ditawarkan oleh nenek moyangnya. Tercantumnya nama-nama bangsa Belanda dalam modernisasi kerajinan perak tersebut diatas, menunjukkan bahwa bangsa Belanda merupakan pendukung baru dari kerajinan perak Kotagede. Penggemar kerajinan perak bukan dari bangsa Belanda yang tinggal di Yogyakarta saja, tetapi juga yang berada dinegara Belandapun ada. Hal ini terjadi karena sering adanya pergantian penguasa-penguasa Belanda dilembaga-lembaga pemerintahan, atau dipabrik-pabrik, misalnya pabrik-pabrik gula yang banyak jumlahnya di Yogyakarta dan sekitarnya.

Di samping itu, raja-raja Yogyakarta selalu memesan barang-barang kerajinan perak Kotagede sebagai tanda kenang-kenangan yang diperuntukkan para pembesar Belanda yang akan pulang ke negerinya, atau pada hari-hari besar, dan peristiwa-peristiwa penting, misalnya upacara pertunjukkan, perkawinan, dan sebagainya. Sudah barang tentu, barang-barang kerajinan perak yang dibuat untuk kenang-kenangan diambilkan yang biasa dipergunakan oleh bangsa Belanda, misalnya eetstel theestel, rookstel dan sebagainya. Barang-barang kerajinan perak yang dibutuhkan oleh bangsa Belanda mempunyai corak dan bentuk yang berbeda dengan barang-barang yang biasa dikerjakan oleh para ahli kerajinan perak di Kotagede. Jika sebelumnya hanya di kerjakan barang-barang perhiasan bermotif tradisional dari kraton, setelah ada permintaan dari bangsa Belanda, mulai dikenal alat-alat rumah tangga Eropa dengan motif-motif baru.

Pada waktu perkawinan ratu Juliana telah dikirim tanda kenang-kenangan berupa barang-barang kerajinan perak Kotagede antara lain oleh Sultan Hamengku Buwana ke IX, Paku Alam VIII, Persatuan wanita Belanda di Indonesia, dan pabrik minyak Sungai Gerong. Barang-barang yang dikirim tersebut antara lain berupa dua dosin eetservies, dengan motif campuran sebagai hasil modernisasi, yaitu motif-motif di Indonesia dengan Eropa misalnya dengan motif ukiran yang mengambil ornament candi Borobudur dan sebagainya. Barang-barang ini telah dibuat oleh perusahaan perak Prawirohardjo di Kotagede.

Yayasan Pakaryan Ngayogyakarta

Yayasan yang didirikan oleh para pengrajin perak di Yogyakarta pada tahun 1929, yang pada zaman itu disebut dengan Jajasan Pakarjan Ngajogjokarto. Yayasan tersebut didirikan dalam rangka mengadakan modernisasi kerajinan perak di bidang motif, dengan tujuan utamanya adalah untuk memajukan seni kerajinan yang terdapat di Yogyakarta.

Tugas yayasan tersebut adalah memberikan (1) penerangan teknik kepada perusahaan-perusahaan yang ingin memperbaiki pekerjaannya; (2) menun-jukkan hasil pekerjaan mereka yang telah dikoreksi, dan mengusahakan pameran yang lebih baik, baik itu di dalam maupun di luar negeri; (3) memberi uang muka kepada mereka yang barang produksinya belum terjual; (4) menolong meng-usahakan material yang dibutuhkan dan yang lebih baik; (5) memperkenalkan hasil-hasil karya yang baik dan turut memberi garansi; (6) menganjurkan adanya kreasi baru dengan memberi contoh-contoh yang dimodernisasikan; (7) menganjurkan kejujuran kepada para pengusaha, agar pekerjaannya bermutu dan pembeli tidak merasa tertipu.

Karena usaha-usaha Yayasan Pakar-yan Ngayogyakarta tersebut, barang produksi yang sebelum tahun 1929 belum terkenal sampai ke luar negeri, akhirnya dapat terkenal dan mendapat pasanan yang baik. Namun karena adanya pendudukan Jepang, Yayasan Pakaryan Ngayogyakarta akhirnya dibubarkan pada tahun 1942.

Yangko, Makanan

Makanan khas yang sangat digemari oleh wisatawan, sebagai oleh-oleh khas Kotagede. Makanan kecil ini diperkirakan dibuat pertama kali pada tahun 1940-an oleh seorang warga asli Kotagede bernama Haji Dullah. Pada waktu itu ia menjualnya dalam lingkup industri kecil dan tanpa label. Baru pada tahun 1948, ia memperbesar usahanya, dikemas dalam kardus dan diberi label dengan nama “Ngudi Roso.” Kemudian usaha ini diteruskan anak cucunya, serta dikembangan oleh banyak orang dengan label yang berbeda-beda.

Yangko mudah dikenali dari bentuknya yang segi empat kecil dan dibungkus kertas dorslag warna-warni. Dibuat dengan bahan utama tepung ketan, dan di dalamnya terdapat adonan gilingan kacang dengan rasa manis. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat yangko, antara lain ketan, gula, dan santan. Adonan ketan diuleni (diaduk-aduk) dicampuri dengan juruh kenthel (cairan gula yang kental) sampai rata dan kenyal. Setelah dingin, kemudian diiris-iris dengan bentuk segi empat panjang dan ditaburi dengan tepung, sehingga tidak lengket.

Penyajiannya, dibungkus dengan kertas minyak warna-warni, sehingga kelihatan menarik. Dalam perkembangannya, yangko dibuat dengan berbagai rasa, sehingga dapat menjadi variasi bagi pembeli untuk memilih rasanya, selain rasa kacang, juga disajikan yangko dengan rasa durian, strobery, coklat, susu dan lain-lain.

Minggu, 03 Mei 2009

Zubair Muchsin, Rumah

Rumah tradisional Kotagede, yang memiliki nilai arsitektur Jawa yang unik. Rumah ini didirikan oleh H. Mukmin pada tahun 1865 M. H. Mukmin adalah seorang pedagang kain dan lawe serta agen mori “cap sen”. Setelah diwariskan kepada putranya H. Zubair Muchsin, usahanya terus berkembang dan merupakan salah satu yang terbesar di antara 43 pedagang sejenis di Kalurahan Sayangan. Pada waktu didiami H. Mukmin rumah tersebut juga digunakan sebagai tempat pelayanan usaha dan kegiatan keagamaan. Akan tetapi, setelah diwariskan kepada H. Zubair Muchsin sampai saat ini hanya digunakan sebagai tempat tinggal dan aktivitas keagamaan Islam.

Terletak di Dusun Buharen RT 33/RW 8, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kodya Yogyakarta. Berdiri di atas tanah seluas 1072m2, dikelilingi pagar tembok setinggi 2,25 m. terdapat dua buah pintu masuk ke halaman. Pintu sebelah selatan berukuran lebar 1,62 m dan tinggi 2 m. Sedangkan pintu utara berukuran lebar 1 m dan tinggi 1,72m.

Kompleks ini mempunyai beberapa bangunan yaitu langgar, pendapa, pringgitan, dalem, gandok kiwo dan gandok tengen, dapur dan bangunan pelengkap lainnya.

Zubair Muchsin

Seorang tokoh Muhammadiyah Kotagede. Zubair Muchsin adalah putra dari H. Muchsin, seorang pedagang kaya Kotagede. H. Muchsin bersaudara dengan H. Masyhudi, keduanya adalah putra H. Mukmin. Kekayaan ayahnya, H. Muchsin digunakan untuk membiayai pendidikan Zubair di Kairo, Mesir. Pada saat itu, ia bersama-sama dengan M. Rasjidi belajar di Kairo. Selain Zubair, saudaranya bernama Djalal Muchsin juga mengenyam pendidikan di Kairo, Mesir.

Zoo Gab De Wereld

Tulisan yang terdapat pada permukaan Watu Gilang berhuruf gedrik (cetak) yang artinya bahasa Belanda.

Ziarah Kubur Panembahan Senapati

Diartikan menabur bunga (sekar) ke makam Panembahan Senapati di Pasareyan Kotagede. Biasanya dilakukan pada bulan ruwah (yang berarti arwah), sebagai bagian dari tradisi untuk membersihkan diri menjelang bulan puasa (bulan suci Ramadhan). Menurut kepercayaan Jawa, orang yang telah meninggal, pada bulan ruwah dating untuk menengok familinya yang masih hidup. Pada saat nyekar bunga yang biasa ditaburkan ke makam adalah bunga mawar, kenanga, melati dan kanthil.

Pasareyan Kotagede sebagai tempat persemayaman Panembahan Senapati menjadi tempat ziarah bagi masyarakat luas, baik dari Yogyakarta maupun dari daerah lain. Para peziarah harus mengenakan pakaian khusus dalam menjalankan ritual di pasareyan Kotagede. Pakaian yang dikenakan untuk ziarah ke makam sesuai dengan peraturan keraton, yaitu bagi peziarah khusus wanita diwajibkan mengenakan kain, kemben, tanpa baju dan sanggul gelung tekuk. Sedangkan bagi peziarah khusus pria mengenakan kain, ikat kepala blangkon, dan baju pranakan atau tidak mengenakan baju (telanjang dada).

Ayeran

Istilah yang dikenakan bagi para kuli penggarap tanah, yang merupakan kewajiban kerja bakti kepada bekel, patuh, dan raja untuk pekerjaan rumah tangga. Umumnya ditujukan khusus bagi kaum wanita, sebagai bentuk baktikepada tuannya, dengan membantu memasak, membersihkan rumah dan pekarangan, danlain-lain.

Asyhari Marzuki, Kh

Pengasuh Ponpes Nurul Ummah, lahir di Giriloyo, Imogiri, Bantul, 10 November 1942.

Astana

Sebutan lain Pasareyan Agung. Di beberapa tempat, terutama di luar pusat kerajaan Mataram, kata astana juga masih digunakan untuk menyebut kompleks makam, khususnya makam lama.

Asem, Pohon

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman rumah tradisional Kotagede. Memiliki nama ilmiah...... Kata asem disamakan dengan kata kesengsem yang artinya terpikat.

Asok Tukon

Penyerahan sejumlah benda sebagai tanda bantuan dari pihak keluarga pria untuk persiapan acara perkawinan. Tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak pria kepada pihak wanita, berupa uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak (sapi, kuda, kerbau) yang diserahkan seminggu sebelum upacara pertemuan kedua pengantin. Proses ini disebut juga srakah atau sasrahan yang merupakan mas kawin.

As’ad Humam

Muballig, penyusun buku Iqro dan pelopor Gerakan TK Al Qur`an di Indonesia. Akrab dipanggil Pak As, lahir di Koategede, 1933 dari pasangan H. Humam bin H. Siradj dan Hj. Dalimah binti Somoharjo. Setamat SD Muhammadiyah Kleco, Kotagede tahun 1948, melanjutkan ke Muallimin Muhamaadiyah Kotagede, namun hanya sampai kelas I. Ia lebih suka mengikuti kakak ipar sekaligus gurunya, Kyai Su`aman habib yang penghulu di Kota Ngawi. Setamat SMP di Ngawi, menamatkan SGA Muhamamdiyah, namun hanya sampai kelas I, karena menderita pengapuran pada tulang belakangnya, sehingga harus dirawat selama 1,5 tahun di RS Bethesda.
Sekalipun kurang beruntung dalam pendidikan formal, namun ia terus mengaji di berbagai lembaga, antara lain Masjid syuhada, Masjid Besar Kauman dan Ponpes Al Munawwir, Krapyak. Di luar itu, ia adalah seorang yang tekun belajar secara otodidak. Kiprahnya dalam memberikan pembelajaranmembaca Al Quran sudah dimulai sejak tinggal di Ngawi, hingga kembali ke Kotagede dan mengajar mengaji anak-anak di kampung Selokraman. Kelompok pengajian itu dinamai AMIN (=Aku Mesti Iso Ngaji). Gerakan ini meluas hingga tahun 1953 terbentuk PPKS (=PersatuanPenajian Anak-anak Kotagede dan Sekitarnya).
Tahun 1973, di rumahnya ia mendirikan Mushalla Baiturahman, tempat a menajar anak-anak mengaji dan mengujicobakan berbagai sistem dan metode pengajaran yang menjadi idenya. Ia berkeinginan memperbaharui sistem pengajian tadisional yang kurang menarik dan terasa lamban, sehingga diperlukan waktu 2-3 tahun bagi seorang anak untuk bisa baa Al Quran. Hingga tahun 1983, bertemu dengan anak-anak muda yang memiliki keterpanggilan yang sama dalam menggerakkan pengajian anak-anak. Anak-anak muda yang jumlahnya 17 orang, dihimpunnya dalam satu wadah yang diberi nama Team tadarus Angkatan Muda masjid dan Mushalla (disingkat Team Tadarus AMM).

Fokus darikegiatan tim ini adalah menggerakkan agar setiap masjid dan mushalla terselenggara unit-unit jamaah tadarus dengan pola kegiatan yang sama minimal seminggu sekali dengan sistem tadarus keliling. Aktifitas tim ini terus berkembang hingga tahun 1985, tidak kurang dari 600 jamaah bisa menikmati pembinaan. Dari berbagai diskusi dan kajian, yang dilakukan Pak as dengan Tim Tadarus AMM, salah satu hasil lain dari tim ini adalah mengupayakan satu lembaga pendidikan Al-Qur`an yang unggul, dalam wadah TK Al Quran. Dan pada puncaknya, pada tahun 1989 berhasil disusun buku ”IQRO”, suatu tuntunan belajar membaca AlQur`an yang mudah, cepat, dan praktis.

Karena kesehatannya pula, Pak As meninggal dunia pada.tahun 1996. Atas kepeloporan dan ketokohannya, Pak As menerima Piagam Penghargaan sebagai Pembina Tilawatil Quran di Indonesia dari Menteri Agama RI pada tanggal 3 Januari 1992. Dan bersamaan dengan pembukaan FASI IV, tanggal 11 Juli 1999di Istana Bogor, Presiden BJ memberikan penghargaan kepada pak As atas kepeloporannya menggerakkan pendidikan Al Quran di Indonesia.

Arya Penangsang, Adipati

Ia adalah putra Arya Mataram dan merupakan murid kesayangan Sunan Kudus, yang menginginkannya agar ia menjadi penerus dan pemimpin kasultanan Demak berikutnya. Seorang penguasa wilayah timur yang berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan pada periode Keraton Pajang. Adipati Arya Penangsang bertugas sebagai koordinator bupati mancanegara wetan. Cakupan Kadipaten Jipang adalah wilayah mancanegara wetan. Posisi geografis kadipaten ini adalah di barat daya Surabaya.

Yang bekepentingan agar Arya Penangsang tersingkir adalah Sultan Hadiwijaya, Ki Gede Mataram dan Ki Juru Martani. Oleh karena itu mereka membuat strategi untuk mengalahkan Arya Penangsang, karena ia terkenal sakti, dan merupakan murid utama Sunan Kudus, senapati perang kerajaan Demak, sehingga tidak satu orangpun berani berhadapan langsung dengannya.

Satu saat kuda kesayangan Arya Penangsang, Gagak Rimang, ditangkap dan kemudian kupingnya dilukai, lalu dikembalikan ke kandangnya. Mengetahui hal itu, Arya Penangsang menjadi sangat marah, dan langsung mencari dan mengejar orang yang dianggap bertanggung jawab.

Karena diketahui pihak yang bertanggung jawab lari ke tepi Bengawan Sore, maka pergilah Arya Penangsang mengejarnya. Di sana pasukan Ki Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani sudah menunggu. Pada saat itu Danang Sutowijoyo (Panembahan Senapati)), anak Ki Gede Mataram sudah menunggu di balik semak semak di sebrang kali opak.

Pada saat Arya Penangsang sudah tiba di pinggiran Kali Opak, di sebrang kali dilepaskan kuda betina. Oleh karena itu, Gagak Rimang, tanpa bisa dikendalikan langsung mengejar kuda betina tersebut dan menyebrangi Bengawan Sore.

Di seberang kali, dan telah menunggu di balik semak semak, Danang Sutowijoyo sudah siap menghunuskan pusakanya, tombak Kyai Plered ke perut Arya Penangsang. Setelah dihunuskan, Arya Penangsang terjatuh dengan usus terburai. Karena sakti, Arya Penangsang seketika bangkit lagi, dan melilitkan ususnya di kerisnya, Setan Kober.

Begitu dalam jarak dekat ia menghunuskan kerisnya ke Danang Sutowijoyo. Tetapi ia lupa, ususnya dililitkan di kerisnya, dan kemudian tergores oleh kerisnya sendiri. Arya Penangsang tewas seketika, sehingga Danang Sutowijoyo tidak sempat terhunus keris Setan Kober.

Arya

Salah satu bentuk gelar sebutan (predikat) kepriyayian dalam masyarakat feodal Jawa, sebagaimana juga istilah adipati, tumenggung, panji, ngabehi, demang dan rangga. Biasanya merupakan istilah pelengkap dalam suatu jabatan, misalnya Pangeran Adipati Arya, namun dapat juga berfungsi tunggal untuk penyebutan nama, misalnya Arya Penangsang.

Arang

Jenis bahan bakar pokok baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri berskala kecil, khususnya logam. Berasal dari kayu yang dibakar hingga berwarna hitam, bahannya bisa berasal dari pohon atau kayu sonokeling, sambikukun, asem, cemara, dan jati.

Kayu sambi kukun dianggapsebagai bahan baku yang dapat menghasilkan arang kualitas terbaik. Kayu sambi kukun yang yang sudah dibuat arang akan berwarna hitam mengkilat, ketika dipegang atau diusap, arang jenis ini tidak akan mengotori jari tangan. Di samping itu memiliki bobot yang lebih berat disbanding dari jenis kayu lain, sehingga dalam kemasa penjualannya biasanya diwadahi dalam keranjang paling kecil, namun dengan harga jual paling tinggi.

Pusat penjualan arang terdapat di Pasar Imogiri, dengan hari pasaran Senin dan Jumat. Meskipun kiriman yang berasal dari Gunung Kidul berlangsung setiap hari, namun berdasarkan tradisi barang hanya ditumpuk menunggu datangnya transaksi pada hari Senin atau Jumat.

Apem

Jenis makanan tradisional, nama apem merupakan saduran bahasa Arab "Affan", yang bermakna ampunan. Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Bahan utamanya adalah tepung beras, menjadi bahan utama pembuatan apem ini. Untuk afdolnya, mereka menumbuk sendiri, beras yang akan dijadikan tepung. Alu, sebagai penumbuknya, dan lumpang adalah wadahnya. Dua orang wanita biasanya dengan sabar menumbuk butiran-butiran beras, menjadi serpihan halus, tepung beras.

Adonan apem sudah dibuat pada pagi harinya, hingga pada siang harinya dapat dijemur supaya dapat mrusuh (mengembang). Pembuatan apem menggunakan kuah tape ragi, atau cukup ditelateni secara ngebluk (mengaduk dengan tangan) sampai mrusuh, diinapkan semalam supaya mengembang.

Apem yang dibuat pertama kali diberi tindhih uang. Bila wajah atau penggorengan apem yang lain sudah ditaruh diatas anglo atau bara api sudah mulai memanas, api itu diceburi kemenyan dan dibacakan rapal (doa) seperlunya. Wajan diolesi dengan minyak kelapa, sesudah itu adonan dimasukkan dengan irus kecil, di atas adonan yang pertama diletakkan uang logam yang kemudian ditutupi dengan potongan daun dadap srep (Erythriae Fusen Lour Fil). Bila bagian atas apem mulai mengering dan berlubang-lubang kemudian dibalik. Dengan begitu bila nanti apem sudah masak, uang dan daun dadap srep tetap melekat pada apem. Apem yang terakhir (adonan penghabisan) pembuatannya sama seperti pada permulaan (memakai uang logam yang ditutupi dengan daun dadap srep) disertai membakar kemenyan.

Menyediakan apem untuk selamatan orang meninggal harus dibuat gasal, jumlah sesuai dengan waktu nyurtanah dan menurut jumlah tetangga dan sanak saudara yang akan kenduri selamatan itu. Umumnya paling sedikit 15 tangkep (= 30 lirang/biji) ditambah satu. Yang satu ini untuk memberi bagian kepada yang perlu. Selanjutnya bila mengadakan selamatan banyaknya apem lalu ditambah dengan satu. Jadi kalau Nyurtanah 31, tiga harinya menjadi 32, tujuh harinya 33, demikian seterusnya.

Apem disajikan bersama dengan dua macam panganan ketan dan kolak. Kolak dibuat dari ubi jalar dan pisang raja, diwadahi masing-masing satu sudhi. Apemnya setiap satu sudhi berisi apem satu lirang. Untuk mengurangi pemakaian sudhi apem dapat ditumpangkan di atas ketan. Ketan, kolak, apem merupakan wujud tritunggal untuk memulikan leluhur yang mesti harus ada di dalam rangkaian selamatan orang yang meninggal.

Apanage

Istilah apanage lebih komunikatif daripada lungguh. Karena raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, maka semua hasil bumi juga merupakan hak milik raja, sedang petani yang mengerjakan tanah Narawita dan tanah apanage mendapat bagian hasil dari tanah itu. Petani sebagai penggarap harus membayar pajak berupa hasil tanah yang dikerjakan dan tenaga kerja mereka. Upeti dan pajeg dari mancanagara digunakan untuk membiayai rumah tangga istana, sentana, narapraja, dll.

Tanah apanage dibedakan menjadi tanah narawita, tanah apanage untuk sentana dan narapraja. Tanah-tanah narawita menghasilkan bahan pangan, kudapan dan bahan-bahan yang diperlukan oleh istana.

Antefiks

Dari antefix

Istilah untukmenyebut unsur dekoratif tegakan yang difungsikan sebagai penutup atau pengakhiran ujung bubungan atap, baik bubungan atas maupun ujung jurai. Ornamentasi ragam hias semacam kadang juga direpkan pada peralihan bagian bangunan, misalnya antara badan dengan kaki atau dengan atap. Dalam batas tertentu, penggunaan antefiks pada pelipit peralihan antar bagian bangunan juga berfungsi mengurangi kesan kaku pada keseluruhan bangunan.

Motif hiasan kuno ini merupakan hasil budaya yang berkesinambungan dari masa klasik, baik di barat maupun timur, tetapi tetap hidup sampai sekarang. Pada masa itu, hisan antefiks merupakan elemen bangunan yang dominan pada bangunan candi.

Antefiks ini menjadi salahs atu unsur ornamen yang banyak didapati pada beberapa bangunan rumah tradisional di Kotagede, maupun berbagai ornamen yang ada pada bangun-bangunan Keraton Mataram. Secara khusus, di Kotagede antefiks menjadi ciri khas bangunan-bangunan gerbang di komplek Mesjid Agung Mataram, Pasarean Agung, serta kompleks Sendhang Seliran.

Penggunaannya pada ujung-ujung tepian atap gapura sebagai bungkak menyiratkan aplikasi seni Awang uwung, sebagaimana banyak diterapkan pada bangunan-bangunan di Jawa bagian selatan.
Secara tekhnis, unsur bagian ini tidak memiliki fungsi karena keberadaannya lebih sebagai unsur dekoratif. Demikian pula di Kotagede, keberadaannya yang cukup dominan pada kompleks Mesjid dan Pasareyan Agung pada prinsipnya juga mempunyai fungsi dan kedudukan yang cenderung sebagai unsure dekoratif.

Anjap

Peralatan rumah tangga tradisional yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari bahan pecak belah dan untuk almari makan. Anjap berbentuk rak yang bersusun yang digabungkan dengan almari yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan. Anjap berbentuk persegi dan terbuat dari kayu. Anjap biasa diletakkan di dapur.

Angsang

Peralatan rumah tangga tradisional, yang berfungsi sebagai alat untuk mengukus makanan yang terletak di dalam soblog. Angsang berbentuk lingkaran dan pada bagian tengahnya terdapat lubang-lubang kecil. Angsang terbuat dari seng atau aluminium. Ukuran diameter angsang sama dengan diameter ukuran soblog. Angsang yang tidak dipakai diletakkan dipaga atau rak.

Anglo

Peralatan rumah tangga tradisional, dalam bahasa Indonesia kadang disebut tungku berbahan bakar arang kayu, memiliki peranan penting dalam peralatan dapur bagi masyarakat Jawa di masa lalu. Begitu juga dalam proses pembuatan batik, sebagai tempat memanaskan lilin/malam.

Pada saat ini memang masih ada sebagian masyarakat Jawa yang menggunakan alat ini, namun sudah berkurang. Sebagian dari mereka sudah berganti ke peralatan yang lebih modern dan lebih praktis seperti kompor minyak, kompor gas, atau kompor listrik. Sebab peralatan modern memiliki keunggulan di bidang keawetan, kepraktisan, dan kebersihan. Sementara anglo sebagai alat dapur tradisional memang kurang awet, praktis, dan bersih.
Anglo termasuk peralatan gerabah yang terbuat dari tanah liat. Penmbuatannya pun tidak terlalu rumit bagi perajin yang sudah biasa membuatnya. Karena tidak banyak mengalami proses atau tahapan. Setelah melalui pencetakan tradisional, anglo dikeringkan di bawah terik matahari. Setelah kering tentunya dibakar bersama-sama jenis gerabah lainnya seperti kwali, kendhil, layah, dan sebagainya. Setelah diangkat dari perapian yang sudah dingin dan sudah dibersihkan dari kotoran abu pembakaran, maka anglo siap dipasarkan.

Angkur

Disebut juga lowahan yang merupakan sela atau jarak antar bangunan, berupa tanah antar dinding pagar bata Pasareyan Agung Kotagede. Angkur tersebut ada beberapa bagian (godhangan) sebagai para pengunjung yang berziarah di tempat tersebut.

Angka Wolu, Permainan

Permainan tradisional khas Kotagede. Permainan ini dilakukan oleh sekelompok anak, dimana makin banyak makin ramai), dengan membentuk angka wolu (angka delapan).Setelah melalui undian, akhirnya ada seorang yang kalah, sehingga dia dadi (jadi). Anak ini berdiri di tengah antara dua lingkaran yang membentuk angka delapan tadi.

Selanjutnya dengan mengikuti bentuk angka delapan tadi anak yang dadi harus mengejar, boleh dalam arah yang berlawanan agar bisa menyentuh kelompok anak yang ada di dalam lingkaran angka delapan tadi.Apabila da yang tersentuh, maka ia akan menggantikan untuk melakukan hal yang sama mengejar kelompok di dalam lingkaran angka delapan tadi.

Angker

Tempat seram dan tidak semua orang dapat menjamahnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib. Hal ini lebih berkaitan dengan tempat-tempat magis. Istilah lain yang sering digunakan adalah wingit atau sangar. Tempat-tempat wingit di Kotagede yang dipercaya mempunyai kekuatan gaib dan terkesan angker, misalnya: bekas bangunan Keraton Mataram, Kerta, dan Plered.

Angger-angger

Peraturan yang harus ditaati oleh penduduk yang bermukim di Keraton Mataram. Sebagai contoh, setiap penduduk akan melakukan perjalanan, harus membawa laying padhang (surat keterangan). Angger-angger ini merupakan upaya untuk menertibkan dan memudahkan pengawasan penduduk yang bepergian dari satu daerah ke daerah yang lain.

Andong

Alat transportasi tradisional berupa kereta yang ditarik oleh kuda. Kehadiran andhong di Kotagede memberikan ciri khas dan cukup mendominasi moda angkutan umum bagi para pedagang dan pengunjung yang terkait dengan Pasar Gedhe Kotagede. Ciri fisik andhong adalah dasarnya terbuat dari kayu dengan perkuatan pelat-pelat besi, penutup atas dari kulit atau deklit dengan rangka besi tempa, beroda empat dua jejak, dimana semua roda terbuat dari kayu dan roda depan berukuran lebih kecil daripada belakang. Untuk kenyamanan, antara roda dan badan kereta dihubungkan dengan pegas yang bisa menyerap goncangan saat bergerak di jalan yang tidak rata. Komponen yang khas adalah lonceng dan lampu kuningannya. Tempat duduk terdiri dari dua lapis hadap depan, depan dan belakang, dan tersedia dek bagase di belakang.

Andhong biasanya ditarik oleh dua ekor kuda, namun pada saat kuda semakin kurang populer belakangan ini sebagian hanya ditarik satu kuda. Pengemudinya disebut kusir, duduk pada kursi depan kanan. Kapasitas penumpang normalnya adalah empat orang. Pada saat tidak beroperasi, andhong disimpan di gedhogan, sebenarnya kandang kuda yang digunakan sebagai garasi andhong. Sedangkan bengkel khusus andhong untuk wilayah Kotagede berada di kampung Jarakan.

Andhong memiliki penampilan yang anggun, karena merupakan turunan dari model kereta kerajaan (kereta kencana), yang banyak diilhami bentuk kereta kuda dari Barat. Oleh karena itu andhong tentu muncul lebih kemudian dibanding dengan cikar yang lebih asli. Andhong hanya dijumpai di kota-kota besar bekas kerajaan Jawa, berbeda dengan dhokar yang bisa tersebar di kota-kota kabupaten hingga kota kecamatan. Karena itu andhong bisa banyak dijumpai di Kotagede sebagai bekas ibukota Keraton Mataram, sekaligus bagian dari kota Yogyakarta sebagai kota kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Popularitas andhong tetap dapat bertahan seiring dengan perkembangan teknologi transportasi massal dewasa ini. Andhong sekarang cenderung dimanfaatkan sebagai angkutan wisata lokal. Kepemilikan andhong bukan monopoli orang Kotagede, bahkan lebih banyak dimiliki orang luar, misalnya dari Manggisan. Di Kotagede andhong masih cukup fungsional digunakan masyarakat umum, khususnya pedagang pasar. Andhong hilir mudik dari pasar Kotagede ke Pasar Beringharjo di pusat Kota Yogyakarta mengangkut ibu-ibu pedagang dengan segala barang dagangannya.

Andhe-andhe Lumut

Seni pertunjukan berbentuk drama dengan iringan gamelan. Cerita yang ditampilkan biasanya dalam bentuk drama tentang kisah Andhe-Andhe Lumut. Kesenian ini pertama kali dipentaskan sekitar tahun 1962, dalam upacara bersih desa. Diprakarsai oleh Bapak Basiran (Pak Bas) yang tinggal di Bumen Kotagede.

Dikisahkan, bahwa Mbok Randha Dhadhapan memiliki seorang anak laki-laki bernama Panji Asmara Bangun. Karena sudah dewasa ia diminta kawin oleh ibunya. Sudah banyak kembang-kembang desa yang melamar. Diantaranya bernama Klething Abang, Klething Ijo, Klething Biru, dan banyak lagi gadis lainnya. Tetapi Panji Asmara Bangun menolaknya, karena dalam menuju tempat tinggal Mbok Randha Dhadhapan para gadis tersebut harus menyebrangi sungai, dan diseberangkan oleh Yuyu Kangkang. Yuyu Kangkang selalu minta upah ciuman. Selain itu gadis-gadis tersebut walaupun berwajah dan berparas ayu, tetapi berwajah jahat.

Suatu ketika datanglah Klething Kuning yang berwajah jelek dan kotor, tetapi hatinya suci, karena sering disiksa dan dianiaya oleh ibu tiri dan saudara-saudaranya, yaitu Klething Abang, Klething Biru dan Klething Ijo. Ia tampak sangat jelek.

Ketika hendak menyeberang sungai yang dijaga oleh Yuyu Kangkang, ia tidak mau menggunakan jasanya, bahkan dengan kesaktiannya, sungai itu menjadi kering dipukul dengan sada lanang (sejenis tongkat kecil).

Ketika sampai di rumah Panji Asmara Bangun, Mbok Randha Dhadhapan menolaknya. Tetapi Panji Asmara Bangun tahu dan Klething Kuning disuruh menghadapnya, serta menerimanya sebagai calon isterinya. Setelah dimandikan oleh Mbok Randha Dhadhapan, ternyata ia adalah seorang putri raja yang telah lama menghilang, bernama Galuh Candra Kirana. Maka selanjutnya mereka dapat hidup bahagia sebagai raja dan permaisuri di Kerajaan Jenggala.

Ancak-Ancak Alis, Permainan

Permainan tradisional anak-anak bersifat rekreatif, yang dalam proses permainannnya menggunakan istilah-istilah yang berhubungan dengan pertanian, ketentuan jumlah pemain tidak ada, karena semakin banyak anak-anak yang terlibat dalam permainan ini akan semakin meriah. Tempat permainan dipilih yang luas dan rata.

Cara bermain, pertama semua pemain bersepakat memilih dua orang di antara mereka yang cenderung memiliki kekuatan, ketinggian dan besar badan yang sama untuk mejadi petani. Kedua petani ini segera menyingkir dari kelompok permainan ini untuk berunding mengenai nama-nama yang diambil dari istilah pertanian, misal A memilih nama jagung dan B memilih nama kacang. Kemudian kedua petani berdiri berhadapan dengan kedua tangan diangkat ke atas dan kedua telapak saling ditempelkan sehingga membentuk seperti pintu gerbang. Kedua telapak tangan mereka saling bertepuk tangan sambil menyanyikan ancak-ancak alis. Lirik lagu ini di masing-masing daerah Jawa terjadi perbedaan. Lirik lagu tersebut di wilayah Yogyakarta adalah : “Ancak-ancak alis, si alis kabotan kidang, anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul bambang tego, tego rendheng, enceng-enceng gogo beluk, unine pating jerapluk, ula apa ula dumung, gedhene salumbung bandhung, sawahira lagi apa, wong deso?”

Anak-anak yang lain berdiri urut memanjang diawali dari yang terbesar badannya, sambil memegang ujung baju teman yang berada di depannya, lalu berjalan berkeliling. Ketika lagu berakhir pada kata “Sarahira lagi apa, wong desa?”, barisan tersebut berada di samping kedua petani. Pemain yang terdepan menjawab pertanyaan tersebut dengan “lagi ngluku (sedang membajak)”. Kemudian kedua petani menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis, dan pemain lainnya mulai berjalan berkeliling lagi. Bila lagu sudah selesai pada akhir kalimat, maka sudah pemain paling depan harus menjawab dengan jawaban nama-nama tahapan dalam menanam padi.
Demikian seterusnya berulang-ulang. Ketika mendapat jawaban “lagu wiwit ( baru menuai )’, anak yang paling belakang segera berlari keluar dari barisan untuk mengambil daun-daunan yang berada di sekitar tempat permainan, dan segera menuju ke barisan semula, lalu disusul oleh kedua petani yang berada di barisan paling depan. Barisan segera berjalan berbelitan membentuk angka delapan sambil menyanyikan : “menyang pasar kadipaten leh olehe jadah manten, menyang pasar ki jodog, leh olehe Cina bidhung”.

Setelah itu kedua petani berdiri dengan tangan membentuk terowongan sambil menyanyikan lagu ancak-ancak alis, dan para pemain berdiri dalam satu barisan melewati terowongan tersebut sambil menjawab “lagi panen (sedang panen)”. Anak yang tertangkap terowongan ditanya, “Kali ini akan menanam apa, kacang atau jagung?”. Jika memilih jagung maka harus berada di belakang petani A. Demikian seterusnya hal ini diulang-ulang sampai pada pemain terakhir dalam barisan, petani menyanyikan lagu “dikekuru, dilelemu, dicecenggring, digegiring”.

Kemudian kedua petani mengurung anak tersebut dengan kedua tangannya sambil berkata: “kidang lanang apa wadon, yen lanang mlumpata, yen wadon mbrobosa”. Anak tersebut berusaha keluar, dan diminta memilih salah satu petani. Petani yang mempunyai anak dibelakangnya lebih banyak, dianggap menang. Penentuan menang kalah dapat juga dilakukan dengan cara adu kekuatan, yaitu tarik menarik antara kedua petani dengan dibantu oleh anak semang masing-masing.

Ambiya, Kitab

Merupakan kitab Jawa yang ditulis pada zaman Keraton Mataram. Kitab ini memperjelas tentang perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Kitab Ambiya ditulis dalam bentuk tembang macapat (kakawin). Ambiya berasal dari kata dalam bahasa Arab nabiyau, jamak: nabbiyun yang berarti nabi-nabi. Kitab Ambiya menceritakan tentang nabi-nabi, sejak zaman Nabi Adam As. Sampai dengan Nabi Muhammad SAW.

Amir, Kyai

Tokoh dan pendiri Muhammadiyah cabang Kotagede. Nama kecilnya adalah Samanhudi, lahir sekitar tahun 1892 di Desa Mlangsen, Kulon Progo. Ayahnya Jalal Sayuthi seorang ulama terkenal yang pernah tinggal di Mekkah selama 10 tahun menjadi guru dan ulama. Salah seorang murid Jalal Sayuthi di Mekkah adalah KH Ahmad Dahlan, kemudian terkenal sebagai pendiri Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta.

Samanhudi muda mulai gemar belajar bahasa Arab dan dasar-dasar ajaran Islam dari ayahnya. Ia berminat kuat untuk belajar Shahihul Bukhari (haditz yang dihimpun oleh Al-Bukhari), dan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa. Ia memperoleh Sertifikat Penguasaan Hafal Al-Quran (hafidz) dari KH Munawir, Pondok Krapyak Yogyakarta. Lalu terus belajar buku-buku agama dengan Kyai Nawawi dan Pasuruan, Jawa Timur. Pendalaman Ilmu Nahwu (tatabahasa Arab) ia pelajari dari Kyai Ibrahim di Nglirap, Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Mengalami saat yang paling menentukan kariernya sebagai santri dengan berguru pada Kyai Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama 1926.

Kecerdasannya sangat dikagumi Kyai Hasyim Asyari, yang menyarankannya agar belajar dan memperdalam masalah Bukhari di Mekkah. Ia pun berangkat melalui Singapura. Setibanya di sana, ia kehabisan uang untuk melanjutkan perjalanan, sehingga harus bekerja beberapa bulan di Singapura untuk mengumpulkan uang dan sebelum meneruskan perjalanan ke Mekkah. Di Tanah Suci, ia menjadi murid Kyai Mahfudz.

Sepulang dari Mekkah, ia berganti nama menjadi Amir dengan titel lengkapnya H. Amir. Sebagaimana penghidupan banyak ulama saat itu, ia menghidupi dirinya sebagai padagang, dengan mulai berhubungan dengan pedagang-pedagang Kotagede. Perkawinan yang pertama dengan puteri Kyai Amin, Lurah Desa Bokongan Purworejo harus berakhir, karena baik istri maupun anaknya meninggal dunia.

Perkawinan kedua dengan cucu H. Mukmin di Kotagede membawa dia ke tengah-tengah kalangan pedagang Yogyakarta. Ibu mertuanya, Nyai Chatijah, banyak membantu dalam usaha perdagangannya. Ia banyak menyumbang bagi kemajuan reformasi Islam. Tahun 1910, bersama H. Masyhudi mendirikan dan memimpin Sekolah Muhammadiyah. Di samping mendirikan organisasi Syarekatul Mubtadi, sebuah organisasi yang menangani kepentingan pendidikan orang dewasa.

Kegiatan Kyai Amir tidak terbatas di Kotagede, tetapi juga Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia menjadi tuan rumah Konferensi Ulama-Ulama terkemuka di Yogyakarta sebelum Sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah (yang didirikan tahun 1927). Hasil konferensi tersebut diterbitkan dalam sebuah jurnal yang bernama Ummat Islam, Kyai Amir duduk sebagai ketua redaksinya.

Pada zaman pemerintahan kolonial, Belanda mendirikan Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta sebagai Badan Pengadilan Islam tertinggi untuk wilayah Jawa dan Madura. Kyai Amir ditunjuk sebagai salah seorang hakimnya. Pada zaman pemerintah Jepang, Kyai Amir dipilih untuk menjadi kepala Kantor Urusan Agama atau Shukuma untuk wilayah Kasultanan Yogyakarta.

Tahun 1937, ia menjadi penggagas berdirinya Mesjid Perak, dan terpilih sebagai Ketua Pengurus Mesjid Perak. Kyai Amir menulis dan menyunting banyak buku, sebagian besar tentang Al-Quran dan Hadist. Buku-buku ini digunakan sebagai pegangan di Sekolah Muhammadiyah seperti: Shahihul Bukhari, Al-Quran wal Muhdats, Al-Adzkaar, Fathul mannan fie tajwiedil Quran, Adabul walad ma’a waalidihi, ‘Iqdul jauhar, Fathur Malikis Shomad, dan Kifayatul Muhtaj. Tafsir (penjelasan) Al-Qurannya, yang dicetak secara pegon (bahasa Jawa dalam tulisan Arab), dikatakan sangat popular di kalangan Muhammadiyah.

Kyai Amir meninggal tahun 1948, saat berusia 56 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Kampung Boharen, Alun-Alun, Kotagede berdekatan dengan makam kakek mertuanya, H. Mukmin, dan kawan serta paman mertuanya, H. Muchsin. Ia bukanlah orang asli Kotagede. Namun, segala pengabdian pada Kotagede dalam mengembangkan sektor pendidikan Muhammadiyah (khususnya dengan Madrasah Ma’had Islamy), tetap eksis hingga sekarang, sebagai tanda sejarah yang tercatat pada zamannya.

Ambengan

Disebut juga brokohan adalah sesaji makanan yang berupa nasi jagung atau beras, sayur dan lauk-pauk seperti peyek, telur, ikan, krupuk, tahu tempe. Kadangkala dilengkapi dengan buah pisang dan makanan yang dibeli dari pasar. Sesaji ini dipersiapkan oleh kaum wanita di rumah masing-masing dan diletakkan di atas tampah atau besek untuk dibawa kepala keluarga laki-laki ke rumah masing-masing. Dapat dilihat dari jenis dan ragam makanan yang disajikan.

Ambeng

Selamatan Ruwahan yang hanya terdiri dari ketan, kolak, dan apem itu biasanya terdapat haya di kota-kota. Di pedesaan selamatan ruwahan itu tidak hanya terdiri dari ketan kolak apem, akan tetapi memakai ambeg. Yang membuat dan mengeluarkan setiap satu rumah tangga satu ambeg.

Ujudnya tebok (semacam tampah) diberi alas daun pisang klutuk, ditengah diatur nasi wajar. Di bagian atas dibuat rata, lalu diatasnya diberi samir (tutup) dari daun pisang. Di atas samir diatur lauk pauk lengkap, umumnya terdiri dari sambal goreng, daging goreng, (daging lembu boleh, ayampun boleh), tempe bacem goreng, gereh petek diberi tepung dan digoreng, telur dadar atau telur matasapi, krupuk, rempeyek dan kacang tanah atau kedelai (hitam, putih), semur campur. Juga harus disertai bunga telon kemenyan seperlunya dan uang tindhih.Sesudah siap dan sampai pada waktunya ambeng itu oleh kepala keluarga atau suruhannya dibawa ke rumah yang sudah ditentukan di desa.

Bila semua ambeng sudah datang dan diatur di tempat tadi, bapak Modin atau Kaum lalu mengikrarkan tujuan selamatan dan membaca doa seperluya. Sebelum pak Modin berdoa semua uang tindhih dikumpulkan, diserahkan kepada Modi sebagai imbalan atas pekerjaannya memanjatkan doa. Selesai berdoa semua ambeng dibagi kembali kepada yang membawa atau yang mengeluarkan ambeng tadi. Oleh karena Pak Modin tidak mengeluarkan ambeng sendiri, maka dia diberi berkatan yang diambilkan dari masing-masing ambeng sedikit-sedikit. Ada yang diambil sambal gorengnya, ada yang diambil tempe gorengnya, dan seterusnya. Nasinya umumnya diambilkan secara merata dari masing-masing ambeng. Semua ditaruh diatas samir daun pisang yang dimasukkan dalam salang (keranjang terbuat dari anyaman janur daun kelapa hijau) untuk memudahkan membawanya. Diberikan kepada pak Modin. Kemudian makan bersama, ada yang makan ambengnya sendiri, ada yang makan hanya formalitas saja, kemudian bubar dengan membawa ambeng ke rumah mereka.

Amangkurat I, Sunan

Raja Mataram keempat yang bertahta pada tahun 1646 sampai dengan 1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyakrakusuma. Saat naik tahta, berusaha untuk menciptakan kestabilan politik jangka panjang di wilayah kekuasaan Kasultanan Mataram, yang meskipun luas tetapi terus-menerus mengalami pemberontakan.

Amangkurat I dianggap telah memerintahkan penyingkiran terhadap penguasa-penguasa lokal yang dianggapnya tidak terlalu berguna, dalam hal ini termasuk Pangeran Pekik dari Surabaya yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Ia juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah berkembangnya kekuatan mereka karena kesejahteraannya meningkat. Demi meningkatkan kemashuran, Amangkurat I memilih untuk meninggalkan istana Sultan Agung di Kartasura (terbuat dari kayu), serta memindahkan ibukota dan mendirikan istana baru (terbuat dari bata merah) yang lebih megah di Plered.

Pada pertengahan 1670, ketidak-puasan terhadap Amangkurat I telah berubah menjadi pemberontakan terbuka, yang diawali dari daerah Jawa Timur dan terus ke daerah pedalaman Jawa. Putra mahkota yang bernama Adipati Anom (nantinya menjadi Amangkurat), merasa bahwa jiwanya terancam di lingkungan istana setelah ia mengambil salah seorang selir ayahnya dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya. Dipihak lain, kejadian tersebut menimbulkan kecurigaan Amangkurat I terhadap adanya konspirasi antara anaknya dengan pihak Surabaya, yaitu dengan memanfaatkan posisi penting sang putra mahkota yang juga merupakan cucu dari Pangeran Pekik.

Untuk menghadapi kecurigaan tersebut, Adipati Anom kemudian bekerjasama dengan Panembahan Rama dari Kajoran, yaitu letaknya di sebelah barat Magelang. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai menantunya, yaitu Raden Trunajayan seorang pangeran dari Madura, untuk melakukan pemberontakan. Amangkurat I dan Adipati Anom kemudian melarikan diri dari ibukota, dan meninggalkan Pangeran Puger untuk memimpin perlawanan. Trunajaya dan pasukannya, yang juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan karaeng galesong, ternyata akhirnya dapat menguasai istana kerajaan di Mataram pada pertangahan 1677. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura.

Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, jawa Timur. Kesempatan ini diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram. Tak lama setelah kejadian tersebut, Amangkurat I meninggal dunia dalam pelariannya dan kemudian dimakamkan di Tegalarum pada tahun 1677 itu juga. Ia kemudian digantikan oleh sang putra mahkota dengan gelar Amangkurat II.

Alun-alun, Kampung

Kampung ini awalnya diperkirakan merupakan Alun-alun Keraton Mataram, pada saat ini telah padat dengan hunian penduduk. Ciri Alun-alun di areal itu tetap dapat ditengarai dari konfigurasi catur gatra pusat ibu kota kerajaan Islam di Jawa, yakni Sitihinggil-Kraton di sebelah selatannya, Mesjid Gedhe di sebelah baratnya, serta Pasar Gedhe di sebelah utaranya.

Konfigurasi semacam itu juga terdapat di ibukota Keraton Demak, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta. Alun-alun Kotagede menjadi kampung permukiman penduduk inti Kotagede, yakni kaum kerabat abdi dalem Keraton Mataram. Hal itu terjadi karena pusat pemerintahan dipindahkan dari Kotagede ke Kerta dan Plered, sehingga Alun-alun tersebut kehilangan makna simboliknya, dan tinggal menjadi ruang terbuka secara fisik saja.

Kemudian dimanfaatkan oleh para abdi dalem yang ditinggalkan untuk mengurus aset Keraton Mataram yang ada di Kotagede, serta menjalankan kehidupan ekonomi. Kampung Alun-alun berlokasi di sebelah selatan pasar Kotagede, saat ini menjadi tempat permukiman penduduk dan deretan kios-kios untuk usaha perdagangan dan jasa.

Alu

Berfungsi sebagai alat untuk menumbuk padi, beras, dll. Bentuk alu silinder yang panjang. Terbuat dari kayu. Ukuran bervariasi ada yang pendek ada yang panjang tergantung ukuran lumpang, ukuran alu yang pendek misalnya 135 cm dan garis tengah 8 cm. Alu yang tidak dipakai diletakkan di amben.

Alun-Alun Kraton Mataram

Alun-alun merupakan ruang publik tradisional sebagai ajang kegiatan masyarakat pada acara-acara tertentu, serta tempat penyelenggaraan berbagai upacara keraton, khususnya perayaan Sekaten.Alun-alun juga berfungsi sebagai halaman depan dari kompleks keraton untuk menerima para Bupati Mancanegara dan Bupati Nayaka yang akan menghadap raja pada waktu pemaosan saat Garebeg Mulud maupun Garebeg Siyam, dan tempat berlangsungnya latihan perang-perangan bagi para prajurit Keraton Mataram serta olah kanuragan lain yang disebut sebagai rampogan. Dengan demikian Alun-alun mengundang makna sosial, budaya, politik, maupun keagamaan. Pada dasarnya Alun-alun merupakan bagian fungsi dari fungsi publik yang digunakan sebagai bentuk interaksi antara penguasa (raja) dengan masyarakat secara luas (rakyat).

Alun-alun merupakan salah satu elemen pokok catur gatra dalam tatanan pusat pemerintahan tradisional Jawa selain Keraton, Mesjid Gedhe, dan Pasar Gedhe, yang secara keseluruhan menjadi satu kesatuan tata letak bangun-bangunan keraton kerajaan Islam di Jawa.

Keberadaan alun-alun sebagai intergral dari pola keraton telah ada sebelum masa Kota-gede, termasuk Demak, dan bahkan juga di Majapahit dengan pola tata letak yang agak berbeda. Dengan demikian, meskipun Alun-alun di Kotagede sudah tidak dapat dikenali secara fisik, namun para ahli sangat yakin bahwa alun-alun merupakan bagian dari tata ruang keraton pada masa itu. Hal ini juga didukung ole keletakan kampung Alun-alun yang berada di depan atau sebelah timur Mesjid Agung Kotagede sekaligus di sebelah selatan pasar, yang secara analogis sama dengan pola tata letak keraton sekarang.

Alun-alun Kotagede memang secara fisik kini sudah tidak berwujud lagi. Pada saat ini sebagian besar Alun-alun sebagai halaman Keraton Mataram di Kotagede sudah berubah penggunaannya menjadi permukiman dan kampung yang padat. Eksistensi Alun-alun Kotagede tinggal sebagai toponim, yakni kampung Alun-alun.

Ainsi Vale Monde

Tulisan yang terdapat pada permukaan Watu Gilang berhuruf gedrik (cetak) yang artinya bahasa Perancis.

Ahmad Marzuki Romly, KH

Ulama pendiri Ponpes Nurul Ummah Kotagede, lahir di Giriloyo, Imogiri, Bantul , tahun 1901. Ia adalah anak bungsu dari KH Romli, seorang ulama dari Giriloyo yang menjadi Mursyid Kelompok tarekat Syathariah. Sejak usia 4, Ahmad Marzuki kecil telah dipondokkan di Ponpes Kanggotan,Pleret Bantul di bawah bimbingan KH Zaini, hingga berusia 9 tahun. Setelah itu, ia dipindahkan ke Ponpes Termas di Pacitan, Jawa Timur. Seiring dengan kemajuan kepandaiannya, ia berpindahp-pindah ke pesantren lain, seperti Wotocongol, Muntilan (1915-1918), Somolangu, Kebumen (1918-1922), Lirap (1922-1925) dan kemudian Jamrasen, Solo (1926-1927). Tahun 1927 untuk pertama kali menunaikan ibadah haji, setelah itu melanjutkan pendidikan di Krapyak, Yogyakarta (1927-1931). Di tempat terakhir inilah, ia berhasil menghafal Al Qur`an 30 juz.

Pertama kali melakukan dakwah di tahun 1931 di Gunungkidul, dengan melakukan pengajian-pengajian di berbagai desa. Ia dianggap sebagai orang pertama yang membuka jamaah pengajian di banyak desa, mengingat Gunung Kidul pada saat itu masih berbentuk hutan belantara yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sejak 1935, membantu ayahnya mengelola ponpes yang didirikan ayahnya di Giriloyo, sambil belajar ilmu ketabiban dari ayahnya. Ilmu pengobatan yang dimilikinya itulah, yang kemdian membuatnya dengan cepat bisa meluaskan jemaah pengajiannya.

Ulama besar ini meninggal 14 Desember 1991, dan hingga kini terkenal dengan tiga fatwa, yang dipegang teguh sampai akhir hayatnya. Pertama, mengharamkan diberlakukannya program Keluarga Berencana (KB); Kedua melarang praktik bunga dalam dunia perbankan; Dan ketiga, melarang keras anggapan bahwa semua agama adalah baik dan benar.

Ahmad Kasmat Bahuwinangun

Tokoh kemerdekaan dan nasional, lahir di Kotagede, 15 Mei 1908, meninggal tahun 1996. Ayahnya seorang abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, sedang ibunya seorang pengusaha emas dan intan terkenal di Kotagede. Dibesarkan di Kotagede, dididik guru mengaji Kyai Ibrahim, Kasmat sempat mengenyam sekolah Kristen milik Belanda, sebelum masuk ke Sekolah Kehakiman di Jakarta. Ia bekerja sebagai Panitera di Pengadilan Negeri, dan setelah ditempatkan di beberapa daerah, meneruskan studi ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, dan Fakultas Hukum Universitas Leiden Belanda, hingga meraih gelar Mr. (Mister) tahun 1943.

Pernah menjadi Wakil Ketua PSSI, anggota pengurus besar Muhammadiyah, dan juga anggota pengurus besar Partai Islam Indonesia. Selain itu, ia juga menjadi anggota delegasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Jepang. Bersama dengan Kahar Muzakkir dan Faried Ma’roef ditangkap oleh Belanda pada masa Perang Dunia II karena dituduh mengadakan gerakan untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, tapi berhasil selamat karena pemerintah Belanda dijatuhkan oleh Jepang. Atas jasanya, pemerintah Indonesia penghargaan sebagai salah seorang perintis kemerdekaan.

Sejak tahun 1960-1963, Kasmat Bahuwinangun menjadi Rektor UII, setelah sebelumnya menjabat sebagai Dekan Fakultas UII. Ia menggantikan Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir sebagai rektor pada tahun 1960. Ia menduduki jabatan itu dalam waktu relatif pendek yakni hanya sekitar tiga tahun, tetapi dalam kepemimpinannya berhasil membawa UII berkembang lebih maju dengan dibukanya Fakultas Syari'ah dan Tarbiyah, cabang UII di luar Yogyakarta, dan diperolehnya status bagi fakultas-fakultasnya. Fakultas Syari'ah dan Tarbiyah dibuka pada tahun 1961 dan 1962 sebagai pengganti Fakultas Agama UII yang pada tahun 1950-an diambil alih oleh Departemen Agama.

Agung, Pasareyan

Kompleks makam belakang Mesjid Agung, pada sisi selatan. Di dalam kompleks dimakamkan para tokoh Mataram Islam pada periode awal, baik para pendiri, para raja dan kerabat. Beberapa diantaranya adalah Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sinuhun Seda ing Krapyak. Selain itu, juga dimakamkan Sultan Hamengku Buwana II, Pangeran Adipati Paku Alam I, serta beberapa kerabat Keraton Mataram dan penerus lainnya.

Di kompleks makam juga berlangsung ziarah kubur dengan menabur bunga (sekar) ke kubur para leluhur. Biasanya dilakukan pada bulan ruwah yang berarti arwah menjelang puasa. Menurut kepercayaan Jawa, orang yang telah meninggal pada bulan ruwah datang untuk menengok familinya yang masih hidup.

Pada saat nyekar, bunga yang biasa ditaburkan ke makam adalah bunga; mawar, telasih, kenanga, melati, dan kanthil. Pasareyan Kotagede sebagai tempat persemayamnya Panembahan Senopati sering diziarahi oleh masyarakat luas, baik dari Yogyakarta maupun dari daerah lain.

Dalam melakukan ziarah, harus mengenakan pakaian khusus yang telah ditentukan untuk masuk ke dalam makam. Khusus wanita diwajibkan mengenakan kain, kemben, tanpa baju dan sanggul gelung tekuk. Peziarah khusus pria mengenakan kain, ikat kepala, blangkon, dan baju pranakan atau tidak mengenakan baju (telanjang dada).

Panembahan Senapati pernah memerintahkan untuk membangun pemakaman di Kotagede bersamaan dengan selesainya pembangunan Mesjid Agung, yaitu pada tahun 1589 M; dan pembangunan makam ini selesai pada tahun 1606 M. Para ahli berpendapat bahwa Kompleks Pasareyan Agung adalah pemakaman yang dibangun oleh Panembahan Senapati tersebut.

Agung Hanyakrakusuma, Sultan

Memiliki nama muda Mas Rangsang, Sultan Agung adalah Raja Mataram Islam (Kasultanan mataram) yang ketiga. Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Gelarnya Sultan Agung (H)anyokrokusumo tapi lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Cucu dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram (Islam). Putra sulung dari Prabu (H)anyokrowati (Mas Jolang) raja Mataram yang kedua dan berkedudukan di Kerta.

Semasa pemerintahannya berhasil memperluas wilayah Mataram sampai hampir mencakup seluruh pulau Jawa. Kecuali Kasultanan Banten dan Batavia. Akhirnya bergesekan dengan kekuasaan VOC di Batavia. Serta perselisihan dengan Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa yang memuncak pada masa pemberontakan Trunojoyo terhadap raja penggantinya dimana sultan Ageng memberikan bantuan berupa 40 pucuk meriam.
Beberapa kali melancarkan peperangan antara Mataram dengan VOC. Tercatat dua kali Sultan Agung mengadakan serangan ke VOC di Batavia, yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Bahkan serangan kedua dipersiapkan dengan baik di antaranya dengan kekuatan Dipati Ukur dan pemenuhan logistik dengan dibukanya areal persawahan di sekitar Karawang, Cirebon, dan daerah pantai utara Jawa serta pengerahan armada angkatan lautnya. Namun dua kali serangan Sultan Agung menemui kegagalan. Selain melakukan serangan ke Batavia, beliau melakukan perluasan daerah di antaranya menaklukan Kadipaten Path'i (Pati) dan melakukan diplomasi persahabatan dan persekutuan dengan Panembahan Ratu dari Kasultanan Cirebon.
Beberapa kalangan sejarahwan mengatakan pada masa ini, Sultan Agung melakukan politik represif terhadap kadipaten-kadipaten di wilayah pesisir Jawa bahkan dikenal anti perniagaan. Terlebih-lebih dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya yang menyebabkan hilangnya daerah pesisir utara Jawa yang diserahkan kepada VOC akibat perjanjian dengan VOC dalam rangka menumpas pemberontakan Trunojoyo.

Pada masa Sultan Agung, budaya yang dikembangkan di Jawa menurut para sejarawan Indonesia kontemporer adalah budaya pedalaman jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Ini berbeda dengan kebudayaan pada masa-masa sebelumnya yang berciri perniagaan dengan kesultanan dan daerah yang tumbuh di pesisir utara Jawa, terutama dilihat dari letak ibukotanya yang berada di pedalaman Jawa dan berorientasi kepada laut selatan yang bersifat mistis dengan kepercayaan pada Nyi Roro Kidul, penguasa gaib di laut selatan pulau Jawa yang konon memiliki perjanjian menikah dengan Raja-raja Mataram semenjak masa Panembahan Senapati sebagai bagian dari persekutuan mistis. Para sejarawan dan budayawan Sunda menyatakan sejak Sultan Agung menguasai daerah-daerah Priangan di Jawa Barat (kecuali daerah Kesultanan Banten), bahasa Sunda memiliki tingkatan yang sama dengan Bahasa Jawa khususnya di Wilayah Mataraman yakni dikenal istilah bahasa sunda halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya tidak dikenal.

Sultan Agung juga memadukan budaya Islam dengan kebudayaan Jawa bahkan kebudayaan Jawa pra Islam. Di antaranya adalah menetapkan Penanggalan Jawa hasil perpaduan antara Kalender Saka dengan Penanggalan Islam (Penanggalan Hijriah) yang dikenal sekarang dikalangan masyarakat Jawa. Selain itu, Sultan Agung juga dikenal mendalami karya-karya Sastra Jawa dan seni wayang, di antaranya dengan menulis Sastra Gending dan Wayang Krucil.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, secara umum dikenal sebagai masa puncak kejayaan Kesultanan Mataram. Terlepas dari itu, Sultan Agung lebih banyak menghabiskan waktunya di pesanggrahan Kerta, dan kemudian memindahkan pusat kekuasaannya dari Kotagede ke Plered. Artinya, pada masa Sultan Agung eksistensi Kotagede mulai surut.

Namun, sekalipun Kotagede kehilangan peran sebagai pusat pemerintahan, Pasar Kotagede di Kotagede tetap menjadi pusat perdagangan yang penting, bahkan sampai sekarang. Di sisi lain, dia juga tetap memlihara spiritualitas Kotagede yang berpusat di kompleks Mesjid Mataram dan Makam raja-raja di Kotagede, walaupun dia juga menyiapkan juga kompleks makam baru di Imogiri. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri.

Agung, Masjid

Salah satu penyebutan bagi Mesjid Mataram Kotagede, karena pada masanya merupakan mesjid terbesar. Sebutan Mesjid Agung ini, selanjutnya juga digunakan untuk menyebut mesjid yang ada di Keraton Mataram berikutnya.

Adu Kemiri, Permainan

Salah satu permainan tradisional yang hidup dalam masyarakat Kotagede. Perlengkapan yang diperlukan: Papan adu kemiri, berbentuk seperti dhakon terbuat dari kayu dan ditengahnya terdapat sebuah cekungan tempat kemiri yang akan diadu.

Papan kemiri, terbuat dari kayu berbentuk segi empat yang diatasnya terdapat
lubang-lubang kecil tempat meletakkan kemiri berjumlah 72 buah. Papan tersebut
disangga 4 buah kaki. Gandhen, alat untuk memukul kemiri yang diadu berbentuk gada atau tongkat biasa.
Cara Bermain: Pada umumnya permainan ini dilakukan oleh pria dewasa dengan
jumlah pemain minimal dua orang. Buah kemiri ditaruh di tempat kemiri. Kemudian kemiri yang akan diadu di tempatkan dalam lubang adu dan ditutup sebilah kayu yang ujungnya dikunci dengan panthek kayu.
Kemiri yang ditutup tersebut selanjutnya dipukul dengan gandhen sekeras mungkin agar pecah. Pemenang adalah pemain yang memiliki kemiri yang utuh setelah proses pemukulan tersebut berlangsung. Fungsi permianan adu kemiri untuk mengisi waktu senggang