Minggu, 07 Juni 2009

Uyub-Uyub, Jamu

Disebut juga jamu gepyokan adalah jamu yang digunakan untuk meningkatkan produksi air susu ibu pada ibu yang sedang menyusui. Hanya seorang penjual jamu yang mengatakan bahwa ada khasiat lain, yaitu untuk menghilangkan bau badan yang kurang sedap, baik pada ibu maupun anak dan 'mendinginkan' perut.

Bahan baku jamu uyup-uyup sangat bervariasi antar pembuat jamu, namun pada umumnya selalu menggunakan bahan empon-empon yang terdiri dari kencur, jahe, bangle, laos, kunir, temulawak, puyang, dan temugiring.

Cara pengolahan pada umumnya tidak jauh berbeda antar penjual jamu, yaitu semua bahan dicuci bersih tanpa dikupas, selanjutnya empon-empon dirajang (diiris tipis) ditambah bahan-bahan lain dan ditumbuk kasar, lalu diperas serta disaring. Perasan dimasukkan ke dalam air matang yang sudah dingin. Selanjutnya ditambahkan gula ( sampai diperoleh rasa manis sesuai selera (dicicipi). Ramuan selanjutnya dimasukkan ke dalam botol-botol dan siap untuk diperjual belikan.

Undhagi, Abdi Dalem

Sebutan bagi pejabat pemerintahan Keraton Mataram dalam struktur Punggawa Raja yang mempunyai keahlian dalam pembuatan barang-barang dari ukiran kayu. Abdi dalem Undhagi ini, memiliki peran yang sangat besar dalam menyiapkan berbagai peralatan upacara dalem yang terbuat dari kayu.

Ulu-Ulu

Salah satu pejabat dalam struktur pemerintahan desa dalam bentuk kelurahan, yang termasuk dalam prabot desa. Tugas ulu-ulu dalam pengairan pertanian.

Ulu-ulu Mesjid, Abdi Dalem

Sebutan bagi abdi dalem Keraton Mataram yang bertugas untuk mengelola air yang dibutuhkan untuk aktivitas di dalam Mesjid Agung.

Umpak

Umum menyebutnya sebagai umpak, yaitu landasan untuk bertumpunya tiang, pada zaman dulu terbuat dari batu alam yang bewarna hitam dank eras. Umpak merupakan satu-satunya ragam hias berupa padma dalam arsitektur bangunan yang diukir dengan pahatan. Salah satu yang menjadi ciri khas yang menarik bagi Keraton Mataram, adalah ukuran Umpaknya yang terbesar yang terdapat di pendhapa di bandingkan ukuran Umpak pada bangunan-bangunan keraton di Yogyakarta. Umpak pada Pendhapa Keraton Mataram pada zaman Kerta berukuran 100x100 cm di bagian bawah, dan bagian atas 75x75 cm, dengan tinggi 75 cm.

Ujung

Acara berkunjung dengan meletakkan kedua ujung tangan pada lutut kaki orang yang lebih tua guna memohon maaf atas segala kesalahan sekaligus memohon doa restu. Acara ini dilaksanakan pada hari raya Idul Fitri setelah shalat Ied.

Ukel, Makanan

Makanan khas Kotagede dengan bentuk seperti cincin. Setelah digoreng, kemudian ditaburi dengan tepung gula pasir.

Cara membuat: Bahan utama makanan dari tepung terigu, dicampur dengan air santan, bumbu, dan garam. Setelah menjadi adonan yang kental dan liat, kemudian dipilin dengan kedua tangan dan dibentuk. Bahan yang telah dibentuk tersebut, lalu dimasukkan ke dalam penggorengan dengan minyak yang banyak. Setelah matang, segera dimasukkan ke dalam tepung gula pasir, diaduk-aduk sampai rata. Setelah rata makanan siap untuk dihidangkan.

Ulama Keraton Mataram

Pada zaman Keraton Mataram, dikenal sebagai Wali, Panembahan, Kyai, merupakan pemuka dalam agama Islam. Ulama juga masuk ke dalam jajaran birokrasi, dengan berperan sebagai pejabat Keraton Mataram, dengan sebutan: Penghulu, Ketib, Modin, Kaum, dan sebagainya. Ulama Keraton Mataram, merupakan sekumpulan para ‘alim (orang yang berilmu, khususnya di bidang agama Islam). Pada zaman Keraton Mataram, raja pertama mengambil gelar panembahan, yaitu Panembahan Senapati, yang mensejajarkan dirinya sebagai raja sekaligus pemimpin keagamaan.

Pada zaman Sultan Agung gelar keagamaan tersebut dilengkapi dengan Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawa, yang berarti: Hamba yang Pengasih, yang Dipertuan Pengatur Agama, sebagai wakil Allah (Tuhan) di Tanah Jawa. Dengan demikian gelar keagamaan dipegang oleh raja, namun posisi ulama tetap sebagai orang yang dihormati.

Pada zaman Keraton Mataram dipimpin oleh Sultan Agung, para Ulama Keraton Mataram diposisikan sebagai penasehat tinggi kerajaan (Dewan Parampara). Pada periode Sultan Agung ini tercipta hubungan yang harmonis antara raja dengan ulama, tidak hanya dalam hal keagamaan, namun juga dalam hal keagamaan, namun juga dalam bidang politik pemerintahan dan militer. Dalam struktur Keraton Mataram, para ulama ditempatkan sebagai abdi dalem yang bertanggung jawab penuh dalam pengembangan agama Islam, didukung dengan didirikannya Mahkamah Agama Islam, dan diberikannya beberapa Siti Perdikan kepada para Kyai untuk mengelola pondok pesantren.

Uang Wajib

Uang iuran sukarela yang diberikan kepada modin oleh masing-masing kepala keluarga sebagai imbalan jasa untuk memimpin doa dan menyerahkan sesaji selamatan kepada makhluk halus. Uang ini besarnya Rp. 25,00 sampai Rp 100.000,00. Besar kecilnya iuran yang diberikan mencerminkan pula status sosial seorang kepala keluarga.

Ububan Lamus

Peralatan yang yang digunakan dalam industri kerajinan logam tembaga, yang terbuat dari sebuah tabung bambu dan disambung pipa besi serta pipa dari tanah liat (cangklok), bagian ujung bambu diberi alat yang dipompakan dari lamus itu akan keluar melalui saluran udara di ujung cangklok. Digunakan untuk memompa udara pada waktu pekerjaan melebur logam tembaga.

Ububan roda putar

Peralatan yang yang digunakan dalam industri kerajinan logam tembaga, yang terbuat dari satu tabung besi yang dipendam di dalam tanah, bagian tengahnya dibuat kipas angin yang digerakkan oleh roda sepeda.

Sabtu, 06 Juni 2009

Buto Ijo

Pesugihan Buto Ijo ini digambarkan sebagai sosok rakssa berwarna hijau yang memakai cawat, matanya terbelalak merah dan tampak taring giginya yang mengerikan sedang menggendong seorang anak kecil yang meronta-ronta menangis ketakutan. Digambarkan pula bagaimana sang ibu dan bapaknya tenang-tenang saja melihat hal tersebut dengan duduk bersimpuh di depan tungku api dengan sesaji dan kipas bambu. Anak kecil itulah yang dijadikan tumbal bagi Butoijo.

Pesugihan ini biasanya menuntut satu kamar khusus bagi si Buto Ijo, semua orang dilarang masuk kamar ini, kecuali mereka yang memeliharanya. Konon di kamar tersebut, Buto Ijo bersemayam dan di dalam kamar tersebut tidak ada perabotan atau barang-barang kecuali sebuah batu wungkal yang dirantai. Batu wungkal adalah batu padas untuk mengasah pisau atau parang. Sebagai tumbal bagi Buto Ijo, si pemiliharanya yang memperoleh kekayaan, biasanya harus bersedia mengorbankan anak atau kerabat terdekatnya

Butulan

Merupakan pintu samping atau belakang dari rumah Jawa, atau semacam seketheng dalam rumah joglo lengkap. Melalui pintu ini dilangsungkan berbagai aktivitas penunjang rumah tangga yang bersifat non-formal, namun sering justru merupakan kegiatan operasional rumahtangga sehari-hari yang tinggi intensitasnya.
Di Kotagede, butulan mempunyai dua arti. Pertama adalah butulan omah. Butulan rumah memiliki posisi yang unik, dan secara khusus disebut dengan Pintu Luberan. Kedua, istilah ini digunakan untuk menyebut butulan mesjid, yaitu pintu gerbang utara halaman Masjid Gede Kotagede yang berhubungan dengan Kampung Kudusan dan Sayangan. Butulan ini menjadi servive entrance tempat lewat para pengurus masjid dan kaum ulama kerajaan yang tinggal di Kampung Kudusan.

Bupati Pasisiran

Sebutan bagi para pejabat tinggi pada zaman Keraton Mataram yang mempunyai kewenangan mengepalai masing-masing daerah Pasisiran yang menjadi wilayah kekuasaannya. Pasisiran atau pesisir merupakan sebutan bagi suatu wilayah yang berada di sepanjang pantai.

Buta

Makhluk bertubuh tinggi menakutkan ini tinggal di dalam hutan. Makanan utamanya adalah daging mentah.

Bupati Nayaka

Sebutan untuk pejabat tinggi atau kerabat raja pada zaman Keraton Mataram yang diberi kewenangan untuk mengepalai masing-masing daerah kekuasaan dengan diberi kompensasi atas jabatan yang dipegangnya berupa tanah lungguh dari raja, dengan status tanah hanggaduh. Yang berada di dalam wilayah negaragung. Sebagian dari hasil yang diperoleh dari tanah lungguh ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari luas tanah lungguh yang menjadi hak kelolanya, para Bupati dapat hidup dengan mewah.
Sejak pemerintahan Sultan Agung dengan politik sentralisasinya, semua bupati nayaka ini diwajibkan bertempat tinggal di dalam kuthagara atau wilayah ibukota Keraton Mataram agar mudah dikontrol untuk mencegah upaya melepaskan diri.

Bupati Mancanegara

Sebutan bagi para pengusaha wilayah-wilayah mancanegara yang berada di bawah kendali keraton Mataram. Daerah-daerah Mancanegara, baik Mancanegara Kulon, maupun Mancanegara Wetan, terdiri atas sejumlah wilayah kekuasaan yang masing-masing dikepalai oleh seorang Bupati. Dalam Serat Pustaka Raja Puwara, pejabat tinggi ini juga diistilahkan sebagai Wedana, yang biasanya berperangkat Tumenggung atau Raden Arya.
Jumlah Bupati Mancanegara yang mengepalai tiap-tiap daerah tidak sama, tergantung pada luas daerah kekuasaannya. Sebagai contoh, untuk daerah Kediri (dengan tanah cacah sejumlah 4000 karya) hanya dikepalai oleh seorang Bupati, yaitu Tumenggung Katawengan. Sedang daerah Madiun (dengan tanah cacah sejumlah 16.000 karya) dikepalai oleh dua orang Bupati, yaitu Raden Tumenggung Martalaya dan Raden Arya Saputra. Untuk daerah Mancanegara yang tidak cukup luas, biasanya dikepalai oleh seorang Mantri atau seorang Kliwon. Para Bupati Mancanegara tersebut dikepalai atau dibawah pengawasan Wedana Bupati Mancanegara. Pada tahun 1677 Mas Tumapel (saudara sepupu Panembahan Mas Giri) yang pada awalnya menjabat sebagai Bupati Gresik, berikutnya diangkat sebagai Wedana-Bupati Mancanegara berkedudukan di Jipang (selanjutnya terkenal sebagai Adipati Jipang), yang bertugas untuk mengkoordinir Bupati-bupati di Mancanegara.

Bumija

Salah satu bagian dari delapan wilayah Negara Agung Kerajaan Mataram, yang terletak di Kedu sebelah Timur Sungai Progo. Pada masa tersebut, di daerah tersebut terdapat tanah lungguh yang menjadi hak bangsawan Kraton dan pejabat tinggi di Kutagara, yang berjumlah 6.000 cacah

Bupati

Sebutan untuk para pejabat tinggi pada zaman Mataram yang memiliki wilayah kekuasaan tertentu, baik di dalam wilayah tanah raja (nagaragung) maupun diluarnya (mancanegara). Pada zaman Keraton Mataram, para Bupati dapat membentuk lingkungan kehidupannya (kabupaten) seperti miniatur keraton, dengan mecontoh tata tingkat struktur pemerintahannya seperti keraton. Pada saat berpergian seorang Bupati sering diiringi sejumlah besar abdi-abdi pengiring. Kondisi ini berkembang dalam bentuk miniatur-mianiatur yang lebih kecil, sebagaimana terjadi pada lingkungan Kademangan, Kepanjen, Kabekelan, dan sebagainya. Seorang Demang atau Panji, apabila bepergian juga sering diiringi pengiring-pengiring sesuai dengan kedudukannya.

Bumi

Salah satu bagian dari delapan wilayah Negara Agung Kerajaan Mataram, yang terletak di Kedu sebelah Barat Sungai Progo. Pada masa tersebut, di daerah tersebut terdapat tanah lungguh yang menjadi hak bangsawan Kraton dan pejabat tinggi di Kutagara, yang berjumlah 6.000 cacah.

Bumen, kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di sebelah Timur Laut Pasar Gedhe termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan Purbayan. Sebutan Bumen, diduga berasal dari nama tempat kediaman Pangeran Mangkubumi, saudara Panembahan Senapati.

Buldanul Khuri

Tokoh perbukuan, penerbitan dan disain grafis Indonesia. Lahir di Kotagede, 1965 dan menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA, di lingkungan Muhammadiyah Kotagede. Lalu melanjutkan studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI),yang kemudian menjadi ISI Yogyakarta. Minatnya pada buku dipengaruhi oleh mentornya, Darwis Khudori yang menumbuhkan minatnya pada membaca, dan keluarganya yang memiliki percetakan kecil-kecilan yang dikelola kakak-kakaknya di kampung Selokraman. Setelah menyelesaikan studi, mendirikanbiro disain Aula Graphics Disain, sejalan dengan itu tahun 1992 mendirikan PT Bentang Intervisi Utama bersama ketiga temannya, yang bergerak di bidang dsain grafis, penerbitan,dan percetakan. Tahun 1994, Buldan memisahkan diri dan mengubarkan Yayasan Bentang Budaya, dengan mengkhususkan diri pada penerbitan buku.

Bentang Budaya akhirnya berkembang sebagai suat lembaga penerbitan yang memilih tema-temadi seputar seni, sastra, budaya dan filsafat. Dengan salah satu trend setternya, peneritan serial karya Kahlil Gibran yang cukup kuat baik secara tema isi, disain cover dan hasil pemasarannya. Salah satu sumbangan terbesar dari Buldanul dan Bentang adalah desain cover, dimana ia berhasil membuka cakrawala yang menyegarkan dengan menempatkan desain artistic sebagai bagan penting yang membuat buku menarik minat pembaca dan menciptakan citra khusus terhadap penerbit.

Bulus Jimbung, Pesugihan

Jenis pesugihan yang dilakukan melalui perantaraan seekor bulus atau kura-kura. Tempat untuk mencari pesugihan ini ada di Jimbun, sekitar Rowo Jombor, Klaten. Di sana terdapat sebuah sendang tempat bulus jimbun berada dan ada juru kuncinya. Orang yang bermaksud mengambil pesugihan ini wajib bertemu dengan sang juru kunci. Setelah juru kunci menerangkan syarat dan kewajiban bila mengambil pesugihan ini. Si pemohon aka disuruh pergi ke sendang tempat bulus jimbun berada.

Konon, kalau sampai sang Bulus menjilati kulis si pemohon akan menimbulkan belang kecil.Belang pada kulitnya ini akan terus melebar seiring dengan kekayaan yang didapatkannya lewat pesugihan ini. Jika semua permukaan kulitnya sudah memutih maka dia akan mati dan menjadi pengikut Bulus Jimbung.

Buk Dhekem

Sebuah nama tempat yang terletak di sekitar Kampung Jagalan, tepatnya di ujung gang Celenan sebelum sampai ke Kali Gajahwong. Tempat ini mendapatkan nama demikian karena dahulu pada jalan ini terdapat sebuah bangunan berupa buk atau jembatan/gorong-gorong kecil untuk menyeberangi parit yang melintas.
Pada saat diadakan perbaikan dan penghalusan jalan, buk tersebut dirubuhkan dan diratakan dengan tanah, sehingga terkesan dalam posisi tergolek di bawah. Situasi tersebut alam bahasa Jawa disebut ndekem. Mulai saat itu tempat tersebut lebih terkenal oleh masyarakat sekitarnya dengan nama sebutan Buk Ndekem.
Pada saat ini buk ndekem tinggal sebagai nama tempat. Sedangkan perwujudan fisiknya telah hilang karena tertutup oleh peningkatan permukaan jalan pada penanganan perbaikan jalan berikutnya.

Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
Judul buku yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura, berupa penelitian tentang Kotagede. Buku ini juga diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul The Crescent Arises over the Banyan Tree. Buku yang diterbitkan oleh Gajah Mada University Press-Yogyakarta tahun 1983 sebanyak 263 halaman, ditulis dalam enam bab, umumnya mengungkapkan tentang muncul dan berkembangnya Muhammadiyah di Kotagede, dilengkapi pula dengan peta pulau Jawa, Yogyakarta dan Kotagede. Selain itu, diagram yang menggambarkan hubungan kekeluargaan dan perkawinan antara pendiri Muhammadiyah di Kotagede dicantumkan pula dalam buku ini. Lampiran berupa Tanah Bangunan Kotagede (1922), pekerjaan, pendapatan, dan komposisi pekerjaan (1972) disajikan pada bagian akhir buku ini.

Mitsuo Nakamura menjelaskan pula bahwa Kotagede memiliki berbagai keuntungan untuk penelitian perkembangan Muhammadiyah setempat. Secara etnis Kotagede merupakan kota Jawa yang murni, terletak di jantung peradaban Jawa. Kotagede muncul dalam sejarah pertama kali pada pertengahan kedua abad ke 16 sebagai lokasi awal Keraton Mataram yang belakangan, salah satu kerajaan Islam paling awal di pedalaman Jawa Tengah bagian selatan. Keraton Mataram saat itu juga mewujudkan sinkretisasi halus unsur-unsur asli, Hindu-Budha, dan agama Islam dalam kehidupan Keratonnya.

Kedudukan Keraton Mataram berpindah keluar dari Kotagede pada awal abad ke-17. kerajaan itu sendiri kemudian dipecah-pecah dan dipotong menjadi empat kerajaan (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman) karena intrik internal berkepanjangan berkepanjangan dan campur tangan Belanda selama dua abad berikutnya. Tetapi Kotagede bertahan dari semua kekacauan ini. Tetap mempertahankan identitasnya sebagai pusat kota Jawa yang khususnya sampai saat ini, sebagian besar karena segi agama dan ekonominya.
Selanjutnya Nakamura menambahkan, perkembangan yang menuju pada berdirinya Muhammadiyah di Kotagede terjadi pada saat itu berkembang pesat sampai sekarang. Prestasi Muhammadiyah yang paling menonjol dapat dilihat pada bidang pendidikan, umum, dan kesejahteraan sosial (1972). Muhammadiyah telah memprakarsai banyak perubahan di dalam kepercayaan dan praktik keagamaan di kalangan orang Kotagede.
Di samping prestasi local, Muhammadiyah Kotagede memberikan sejumlah sumbangan bagi kemajuan kepentingan Islam dalam tingkat regional dan bahkan nasional. Di banyak daerah kepulauan Indonesia sekolah-sekolah Muhammadiyah atau sekolah-sekolah Islam lainnya memperoleh sejumlah guru yang berasal dari kalangan Muhammadiyah Kotagede.

Muhammadiyah cabang Kotagede adalah salah satu yang paling aktif dan berpengaruh di dalam organisasi yang pusatnya terletak di Yogyakarta, yang memberikan bantuan langsung pada saat yang diperlukan.
Mitsuko Nakamura menerangkan tentang judul bukunya, yang berhubungan dengan konsep abangan dan santri. Proses Islamisasi di Kotagede sekarang ini hendaknya dipandang melulu sebagai masalah perubahan di dalam orientasi ideologis golongan tertentu masyarakat setempat, yakni dari tradisionalisme ke modernisme di dalam golongan santri, tetapi lebih berupa masalah yang ada hubungannya dengan pandangan agama seluruh penduduk setempat: makin bertambah besar orang-orang di dalam kategori abangan telah berpindah dan sedang berpindah ke arah kategori santri, menjadi semakin benar di dalam berpikir dan beramal sebagai orang Islam. Karena itu, judul asli buku ini, “The Crescent Arises over the Banyan Tree” artinya unsur-unsur santri yang digambarkan dengan bulan sabit semakin munculdari unsur-unsur abangan yang digambarkan dengan pohon beringin, sebuah symbol mistik. Judul ini dimaksudkan hanya sebagai ringkasan jelas proses sejarah setempat tanpa mempunyai implikasi politik yang mungkin timbul dikalangan orang-orang tertentu.

Brosur Lebaran, Buletin

Sebuah bulletin sebagai bagian dari sarana da’wah Muhammadiyah Kotagede. Bulletin ini secara rutin terbit setiap Lebaran, dan pada Tahun 1426 H/2005 M. telah memasuki penerbitan yang ke 44 (sekitar 44 tahun). Brosur Lebaran merupakan bulletin yang telah mengakar kuat dalam waktu yang lama. Brosur Lebaran diprakarsai oleh Angkatan Muda Muhammadiyah Kotagede dengan alamat redaksi di Jl. Mondorakan No. 47 Kotagede Yogyakarta.

Bubak Kawah, Upacara

Jika mempelai wanita kebetulan mbarep (anak sulung), biasanya dilakukan upacara bubak kawah di depan gapura. Sebaliknya kalau mempelai wanita kebetulan ragil (anak bungsu), biasanya dilakukan upacara numplak punjen. Bubak Kawah berasal dari kata bukak membuka dan kawah air dari dalam kandungan. Jadi bubak kawah merupakan detik pertama kali seseorang mempunyai hajat mantu. Bubak kawah juga merupakan wejangan seksual secara perlambang agar mempelai laki-laki tidak merasa kesulitan dalam menjalankan tugas luhur.

Perlengkapan upacara bubak kawah berupa dua buah kendhaga (klenthing) – yakni kendhaga kencana dan kendhaga mulya, kelapa muda, dan mori putih. Dua kendhaga diisi kelapa muda yang telah disisir. Sebelum disisir, kelapa muda dibelah menjadi dua, yang merupakan perlambang hubungan seks pertama, kendhaga ditutup dengan kain mori putih (lambang selaput dara). Proses pembukaan kain mori harus dilakukan dengan hati-hati dan diiringi pembacaan doa (mantra). Ketika kendhaga dalam keadaan terbuka akan tampak dua cahaya (merah dan putih) memancar. Cahaya merah dan putih yang muncul dari air degan (gegantilaning ati) tersebut merupakan perlambang cahaya kama laki-laki, dinamakan cupu adi mandhalika, dan kama wanita, disebut cupu manik astagina.

Upacara bubak kawah juga sering ditandai dengan ular-ular (uraian petuah) yang memuat ajaran seksual kelas tinggi, misalnya uraian tentang makna sesaji tumpeng kidang soka maharetna yang berupa nasi putih dengan puncak ditancapi bendara merah putih. Tumpeng kidang soka maharetna mengandung ajaran Sastra Cetha Piningit bagi pengantin. Kidang Soka adalah gambaran kedua mempelai yang sedang karonsih memadu cinta dan maha retna dengan cahaya Tuhan. Dengan demikian, agar dalam bersenggama mendapat ridla Tuhan, kedua mempelai harus memperhatikan tujuh aturan, yakni (1) pandai mencari waktu yang tepat; (2) tepat dalam memilih tempat; (3) teguh dalam sembah, artinya selalu ingat kepada Tuhan; (4) waspada ing sliring, artinya tanggap terhadap kondisi psikologis pasangan, jangan sampai ada yang merasa terpaksa; (5) waspada ing pratiwi; selalu kembali kepada Tuhan (6) waspada ing luluh, mengendalikan hawa nafsu; (7) waspada ing tuwuh, berusaha mendapatkan keturunan.

Brokohan

Upacara selamatan dilaksanakan bersamaan dengan bayi lahir. Dimulai dengan penanganan ari-ari oleh dukun bayi. Di daerah pedesaan, sajian brokohan berupa sego asahan, yang terdiri dari nasi yang ditempatkan dalam tampah, iwak kebo siji (terdiri dari beberapa bagian tubuh seekor kerbau yang hanya diambil sedikit misalnya daging sepotong), pecel ayam, jangan menir. Untuk dibagikan kepada para tetangga dengan maksud memberitahukan bahwa orang yang bersangkutan melahirkan bayi dengan selamat dan permohonan keselamatan dan agar bayi menjadi anak yang baik.

Brambangan

Bentuk kesenian tradisional rakyat berbentuk teater dengan tema Panji yang berasal dari Babad Segaluh, yang sudah termasuk langka dipargelarkan. Penari dalam kesenian ini berjumlah 20 orang, mengenakan kostum wayang orang. Tokoh utamanya adalah Dewi Brambangan yang mengenakan kostum warna merah dan Raden panji Sekar. Alat musik yang menjadi pengiringadalah Gamelan Jawa laras slendro, dimana para penabuhnya menggunakan pakaian beskapan Jaw. Ban biasanya dipentaskan di pendapa dengan waktu pentas adalah malam hari, antara jam 20.00-22.30.

Tema cerita utamanya adalah tentang Raja Banjaransari di Galuh,dengan fragmen cerita antara lain tentang pertikaian antara Jaka Sesuruh dan Siyungwanara. Selain itu terdapat fragmen cerita lain tentang Inu Kertapati (PrabuSuryawisesa) dan permaisurinya Retna Galuh (Dewi Galuh Candrakirana).

Brojosemito

Generasi ketiga dari keluarga Kalang yang tinggal di Kotagede, yang merupakan penerus dari Mertosetiko. Ia adalah orang pertama diangkat sebagai demang oleh Kraton Yogyakarta, sebuah gelar yang terus disandangnya hingga dihapus pada akhir abad ke-20.

Brajanata, Abdi Dalem

Brajanata artinya perasaan yang tajam. Salah satu Abdi Dalem Prajurit Sabinan yang bertugas menjaga pintu gerbang utara dan selatan dari Keraton Mataram. Abdi Dalem Brajanata ini berjumlah 22 orang.

Bong Supit Pak Darmo

Adalah sebuah legenda Bong Supit dari Kotagede yang telah buka Sejak Zaman Belanda, yang terletak di Jl. Pasarean 4 Kotagede. Salah satu ruangan di rumah itu yang selalu terlihat bersih itu berada di bagian selatan dan menghadap utara itu menjadi saksi bisu terjadinya pemotongan ribuan, bahkan puluhan ribu kulit manusia yang rata-rata berusia SD hingga SMP. Rumah itu adalah tempat kediaman Pak Darmo, bong supit atau tukang khitan yang namanya populer sejak masa penjajahan Belanda.

Namun, namanya kini tinggal kenangan. Sebab, ia telah meninggal dunia tahun 1997 karena faktor usia Dia sendiri kali terakhir mengkhitankan bocah pada tahun 1995. Kini, kepiawaiannya sebagai juru sunat itu diteruskan anak-anaknya. Pak Darmo sendiri lahir tahun 1905. Dia dikaruniai 15 anak, sembilan laki-laki, enam perempuan.

Pak Darmo menjadi legenda dunianya bong supit, karena pekerjaan itu telah dilakoni selama 76 tahun lebih. Awal Pak Darmo menjadi bong supit bermula ketika sebelum masa penjajahan Belanda, rumahnya menjadi kantor Palang Merah Indonesia (PMI). Waktu itu, tahun 1930. Otomatis, ia berkumpul dan bergaul dengan para mantri kesehatan. Hingga akhirnya, menjadi orang yang piawai menyunat. Dalam perjalanannya, Bong Supit Pak Darmo pernah menyunat tokoh-tokoh nasional, termasuk orang-orang penting di Jogja. Saat menjadi bong supit, Pak Darmo dan anak-anaknya mengedepankan ibadah dan aspek sosial.

Dalam pandangan Pak Darmo, menyunat merupakan pekerjaan mulia yang berarti mengislamkan orang. Saat itu, ia menggunakan alat gunting dalam menyunat. Namun, seiring perkembangan teknologi, alat-alat itu tidak dibutuhkan lagi. Kini, Bong Supit Pak Darmo mengoperasikan alat modern dalam menyunat. Alat yang digunakan untuk memotong tidak lagi menggunakan gunting, tapi sinar laser.

Penggunaan sinar laser terbukti mampu meminimalkan rasa sakit yang diderita pasien. Karena saat sinar tersebut dioperasikan, kulit tidak mengeluarkan darah. Hingga tahun 80-an, bocah yang disunat mencapai puluhan orang per hari. Karena waktu itu, patokan untuk menyunat menggunakan kalender Jawa. Tetapi, para orangtua sekarang menyunatkan anak-anaknya pada liburan sekolah. Karena itulah bocah yang disunat ketika sekolah tidak libur, tidak banyak. Jumlahnya 2-3 orang per hari. Namun, saat liburan sekolah, jumlahnya mencapai ratusan orang per hari.

Bokong Semar, Benteng

Bagian dari cepuri yang bagian sudutnya melengkung pada sudutnya. Sudut cepuri ini terletak di bagian tenggara dan secara administrasi termasuk dalam wilayah Kampung Dalem.

Istilah bokong semar diberikan oleh penduduk sekarang karena bentuk struktur benteng yang melengkung tersebut seperti bokong (pantat) Semar (seorang punakawan- pelayan pelindung bertubuh tambun yang mengasuh putra putrid raja pada cerita pewayangan yang beraliran bersih-pandhawa).
Denah cepuri memang tidak berbentuk persegi, selain bentuk “bokong semar” pada sisi utara struktur benteng tidak lurus timur barat tetapi agak menjorok keluar di bagian tengah.

Denah semacam ini oleh penduduk dikaitkan dengan bentuk tokoh wayang Semar yang secara filosofis dikaitkan dengan kebijaksanaan raja dalam memberi perlindungan dan ketentramam bagi rakyatnya.

Boharen, Kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di seblah Timur Pasar Gede, termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan Purbayan. Sebutan Buharen, diduga berasal dari dari kata buchari (bahasa Arab), yang oleh lidah orang Jawa lebih mudah diucapkan ‘buhari’. Kampung yang diperkirakan sebagai tempat tinggal Kyai Buchari, yang dikenal sebagai tokoh spiritual yang mendalami bidang keagamaan

Boekhandel SM Diwarno

Penerbitan tertua di Kotagede, yang berdiri sejak tahun 1920-an, terakhir memiliki toko buku di sebelah Barat Pasar Gede, tepatnya di Kampung Sayangan. Buku-buku yang diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu, dimana penggunaan aksara Jawa masih cukup luas digunakan. SM Diwarno juga menterjemahkan banyak buku dari teksbook berbahasa Belanda ke Dalam bahasa Jawa, misalnya buku Panoentoen Olahraga karangan FHA Claesen. Selain menerbitkan buku sendiri, juga menjadi agen dari penerbit dari Batavia, seperti Balai Pustaka.

Perkembangan usahanya yang baik, sehingga untuk wilayah pemasaran di Kta Yogyakarta, penerbit ini membuka cabang yang berkedudukan di Jl. Ngabean (sekarang Jl. KHA Dahlan). Di samping itu, sebagaimana trend yang terjadi pada saat itu, juga menerima order pembuatan stempel, baik untuk merek produk maupun identitas pribadi.

Buku-buku yang pernah diterbitkan antara lain:
Penoentoen Ngetik Mesin Toelis Nganggo 10 Dridji, Kang Njoekoepi (Sinaoe Tanpa Goeroe, karangane M. Soewardjo;
Serat ”Panglipoer” basa lan sastra Djawi, karangan KM SoesrosoemartoMantri (Goeroe);
Kawroeh Padvinder, katerangaken mawi 24 gambar saha potret;.
Paramasastra Welandi karya P. Darminta;
Babad Boewono karangan MS Dwidjosoemarto.

Bobok

Ramuan bedak yang dioleskan atau dilulurkan pada anggota tubuh. Beberapa bobok bayi antara lain bedak wangi untuk menjaga kesehatan kulit, dinglo bangle untuk bedak menolak sawan, kenar kemukus untuk mencegah penyakit pilek, dan diberi tapel yang terdiri dari daun jarak dicampur dnegna minyak dan diikatkan diperut, untuk mencegah agar anak tidak masuk angin.

Bodon, Kampung

Nama toponim kampung di Kotagede yang secara administrative termasuk Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan Bantul. Istilah bodon berasal dari nama Kyai Bodo, yang menurut legendanya adalah salah seorang abdi dalem Sultan Agung dan bertugas merawat kuda sembraninya.

Blimbing Wuluh, Pohon

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman rumah tradisional Kotagede. Memiliki nama ilmiah...... Buahnya kecil-kecil dan rasanya kecut (asam). Pohon belimbing ini melambangkan nama Allah (Wallah). Pohon belimbing wuluh ini juga dipercaya mempunyai pulung (sesuatu yang membawa kebahagiaan) oleh karena itu jika seseorang hendak membangun rumah, dan terpaksa harus menebang pohon ini, terlebih dahulu batang pohon diikat tali. Menurut kepercayaan dengan diikat, diharapkan pulungnya tetap berada di rumah tersebut.

Blobok

Ramuan yang dibuat dari beras dan kencur yang ditumbuk halus, atau brambang diparut kemudian dicampur dengan minyak kelapa secukupnya. Digunakan untuk mengolesi perut bayi yang kembung, dan untuk mengobati masuk angin pada bayi.

Blimbing Lingir, Pohon

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman rumah tradisional Kotagede. Memiliki nama ilmiah...... Karena buah belimbing ini mempunyai lima segi, melambangkan rukun Islam yang lima. Merupakan warisan tradisi dari keraton Demak dimaksudkan agar rakyat lebih memahami ajaran agamanya.

Blawong

Perangkat untuk memajang Keris di dinding rumah. Blawong merupakan sebuah papan kayu berukir atau polos berbentuk empat persegi, ada yang berwarna atau polos berbentuk empat persegi, atau yang berwarna tetapi ada juga yang warna natural kayu.

Papan Blawong ini banyak menghiasi dinding rumah-rumah tua di daerah pesisir Jawa Timur seperti di daerah Tuban, Lamongan dan Lasem. Di daerah lain sebutannya mungkin berbesa seperti Tlawungan dan lain sebagainya.

Pada masa lalu seorang pria dapat dikatakan sudah menjadi orang kalau sudah mempunyai Turonggo dan Kukilo. Nah untuk menunjukkan kepada masyarakatnya bahwa dia sudah siap menjadi Orang maka salah satu dari persyaratan tersebut yaitu Curigao atau Keris perlu dipajang didalam rumahnya untuk memajangnya memerlukan tempat maka dipesanlah Blawong itu.

Blawong biasanya hanya bagian depan saja yang diberi hiasan gambar namun tidak jarang kita jumpai pula Blawong yang digambar secara bolak balik, alasannya mungkin kalau sudah bosan memajang gambar yang satu dapat mamajang keris yang lain dengan gambar dibaliknya.

Hampir sebagian besar Blawong yang dijumpai mengambarkan obyek Wayang atau flora fauna seeprti lung-lungan, dan bentuk wayangnya cukup naïf, artinya tidak seperti gambar wayang menurut pakem, sedang bahan cat yang dipakai juga masih sederhana seperti cat oker atau cat kaleng namun yang sudah kuna biasanya justru digambar dengan semacam teer atau aspal yang berwarna hitam, sehingga menambah magis Blawong tersebut.

Blek, Kerajinan

Kerajinan peralatan rumah tangga yang terbuat dari logam, khususnya seng. Peralatan yang dibuat antara lain ceret, dandang, pompa minyak, gayungan minyak, soblok, gembor, dan lain-lain. Di Kotagede, di masa lalu kerajinan ini berpusat di Kampung Basen, dan kemudian tersebar ke seluruh daerah lain. Sedemikian banyaknya, perajin blek sehingga dibentuk Koperasi Perusahaan Blek Kotagede (KPBK), yang sekretariatnya terletak di kampong Pekaten dan diketuai Basuki.

Kerajinan blek kemudian tergeser oleh produk plastik , dan pada tahun 2000-an, salah seorang perajin yang tersisa adalah Manguntangkil, yang bertempat tingal di kampong Basen, Kotagede.

Blandong, Abdi Dalem

Pejabat pemerintah Keraton Mataram dalam struktur Punggawa Raja yang mempunyai keahlian dalam memotong/membelah dan mencari kayu. Sebutan blandhong ini selanjutnya berkembang sampai sekarang bagi orang-orang yang berprofesi sebagai pemotong/pembelah kayu.

Blangkon

Merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe, blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu, yang kerap mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala. Sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Merupakan simbol kepiawaian seorang pria Jawa.

Bikan, Makanan

Makanan dari bahan tepung yang digoreng dengan sedikit minyak dan bagian bawahnya agak gosong. Bahan makanan utama tradisional ini menggunakan bahan: tepung gandum, telur, gula, garam dan diberi pewarna kuning. Telur dan gula diaduk dicampur gandum dan air santan, kemudian di pan dengan tutupnya. Bagian tutup pan di atasnya ada tempat untuk arang. Dimaksudkan agar meratakan makanan pada saat proses pemanggangan. Sebelum adonan tersebut diletakkan ke dalam cetakan yang berdiameter + 10 cm lebih dahulu harus diuseri (lumuri) dengan sedikit minyak goreng.

Setelah semua selesai dapat disajikan di atas piring dengan alas daun pisang. Dulu pernah menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Kotagede. Pertama kali dibuat oleh Mbah Panut dari Kampung Mandarakan, kemudian diteruskan oleh anaknya bernama Mbah Sastro Sukanto (Punjul). Sepeninggal Mbah Sastro, tidak ada lagi yang meneruskannya. Dinamai Mbah Punjul, karena ibu jarinya ada sedikit tonjolan, sehingga jarinya terkesan lebih (punjul), sehingga ia dikenal dengan nama Mbah Punjul.

Blandong

Istilah yang dikenakan bagi para kuli penggarap tanah, yang merupakan kewajiban kerja bakti kepada bekel, patuh, dan raja untuk memotong dan mengangkut kayu di hutan milik raja. Biasanya kayu yang diambil dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas masjid, makam, gedung kerajaan, atau rumah baru di kalangan kerajaan.

Betel

Salah satu perangkat kecil yang dipergunakan untuk mematri pada kerajinan perak, biasanya dibutuhkan dalam berbagai ukuran yang berguna untuk memotong logam.

Between Two Gates

Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Di Antara Dua Gerbang”. Frase ini digunakan untuk menyebut satu bentuk system tata lingkungan kampung di Kotagede, khususnya di Kampung Alun-alun Kotagede. Ungkapan ini termasuk baru, dimunculkan oleh Tim Peneliti dari Jurusan Teknik Arsitektur UGM pada tahun 1986, namun menjadi populer dalam pembicaraan tentang permukiman Kotagede.

Pada prinsipnya between two gates adalah satuan lingkungan terkecil permukiman bersifat semi-tertutup karena diapit oleh gerbang-gerbang pada kedua ujungnya. Satuan lingkungan tersebut terbentuk dari sejumlah rumah joglo terdiri dari dalem dan pendhapa yang berjajar dalam satu deret.

Longkangan atau ruang antara dalem dan pendapa dari rumah-rumah tersebut sambung menyambung sehingga mewujud sebagai sebuah gang atau lorong sate dengan pintu gerbang di ujung-ujungnya, yakni gerbang barat dan gerbang timur. Hal itulah yang memunculkan penyebutan tadi terhadap lingkungan yang demikian.

Between two gates bukan semata bentukan fisik lingkungan tadi tumbuh bersama tradisi waris dan kekerabatan di antara warganya, karena semula lahan sederet rumah tadi berasal dari tanah satu keluarga, atau satu kelompok penduduk inti Kotagede.

Between two gates memang merupakan salah satu bentuk permukiman dari komunitas tertentu yang secara khas merupakan salah satu kasanah permukiman di Kotagede.

Berbeda dengan magersari yang menunjukkan dua kontras sosial, komunitas between two gates lebih homogen, terdiri dari keluarga-keluarga dengan status sosial yang setara atau hampir sama.

Dalam perkembangan selanjutnya lingkungan tadi tak ubahnya sebuah rumah besar yang ditinggali keluarga besar dengan sikap kerukunan dan gotong royong yang tinggi, sebagaimana terlihat dari sikap mereka merelakan sebagai lahan rumahnya untuk kepentingan bersama berupa jalan rukunan. Pola semacam ini juga memberikan jaminan keamanan lingkungan yang tinggi. Dengan demikian pola lingkungan ini memiliki makna ketahanan sosial dan ketahanan fisik-keuangan.

Besek

Peralatan rumah tangga tradisional yang berfungsi sebagai wadah makanan atau bumbu dapur. Besek berbentuk empat persegi dan bertutup. Besek terbuat dari anyaman bambu. Ukuran besek bermacam-macam, ada yang kecil, sedang dan besar. Besek biasnaya disimpan di paga atau diletakkan di atas meja.

Besi

Peralatan rumah tangga tradisional yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan air dan sebagai tempat makanan yang berkuah dalam jumlah yang banyak. Besi terbuat dari aluminium. Besi berbentuk bulat, cekung, gemuk pendek, tidak bertangkai, permukaannya hampir sama dengan alasnya ukurannya bermacam-macam ada yang besar, sedang dan kecil.

Beskap, Baju

Sejenis surjan dengan kancing dibagian tengah seperti kemeja. Ada dua jenis beskap yaitu : beskap pethak dan beskap cemeng. Biasa dikenakan pejabat istana yang berkedudukan bupati saat upacara grebeg dan pertemuan resmi di istana. Beskap pethak dipergunakan siang hari, beskap cemeng untuk malam hari. Jika dipakai umum biasanya mereka yang mempunyai hajat perkawinan.

Besalen

Istilah tempat untuk pengerjaan logam tembaga. Umumnya bahan rumah dibuat dengan dinding dari tembok batu merah, berangka kayu da beratap genting. Memiliki ukuran 6 X 5 m dan berlantai tanah, besalen biasanya terletak di belakang rumah tinggal atau ekat pawon.

Berkat Slametan

Merupakan masakan-masakah sebagai rangkaian selamatan bagi orang yang meninggal, adalah sebagai berikut:
Ketan, kolak, apem, seperti yang sudah disebutkan di atas;
Nasi golong, 7 pasang (=14 buah). Lauknya berupa: entho-entho, telur dadar tipis diiris kecil-kecil, gebingan (kelapa muda diiris-iris tipis kecil, digoreng), kacang tanah digoreng, ulam asren (bagian dalam dari lembu diiris kecil-kecil digoreng);

Nasi wajar disebut juga sega jawa, lauk-pauknya terdiri dari: pindhang kluwih, yang diberi campura bagian dalam lembu diiris kecil-kecil dibungkusi kecil-kecil supaya tidak bercampur dengan kluwih. Sebungkus berisi 1-2 iris kecil. Entho-entho, kacang tanah goreng, telur dadar tipis satu iris, sambal goreng krecek, acar campur, tomis buncis, mihun goreng, daging lembu dimasak bistik, atau terik semur campur atau cap jae goreng, rempeyek kacang tanah, rempeyek kedelai, rempeyek gereh, telur pindang, krupuk dan buah pisang raja satu sisir.

Nasi gurih dan ingkung ayam jantan dimasak bumbu lembaran. Semacam opor. Ayam jantan diusahakan yang wiring kuning atau putih mulus. Lauknya sambal pecel (sambal kacang tanah), sambal pencok (kacang tholo putih), lalaba (kobis diiris-iris halus, mentimun, kecambah, kemangi, petai, jengkol, semuanya mentahan), rambak goreng sebagai kerupuknya.

Pisang raja satu tangkep sebagai sanggan, jajan pasar selengkapnya (tidak boleh dilupakan jambu dan salak),
Kembang telon (mawar, melati, kenanga) dan kemenyan.
Lima macam bubur: merah, putih, baro-baro (dari tepung bekatul) sliringan (separo putih separo merah), dan palang.

Untuk nyurtanah tambah sebuah tumpeng pungkur, lauknya urap megana. Tumpeng pungkur dibuat dari tumpeng nasi biasa yang dibelah menjadi dua, keduanya diletakkan diatur saling membelakangi (Jawa: ungkur-ungkuran). Tumpeng pungkur itu hanya untuk keperluan selamatan nyurtanah saja, tidak untuk keperluan lain-lain. Kecuali tumpeng pungkur juga disertai sayur bening dan gecok mentah, yang dibuat dari air santan mentah, diberi bawang merah, cabai merah, daun salam dan irisan-irisan daging mentah. Daging itu dapat diganti dengan tempe yang diiris-iris. Semuanya ini mentah (tidak dimasak) lalu diwadahi di dalam takir.

Berlian

Logam batu mulia yang pada masa kolonial Belanda perdagangannya pernah berpusat di Kotagede. Hal tersebut tidak lepas dari bonafiditas usaha dari keluarga Mulyosuwarno, yang memiliki kekayaan sangat besar. Diawali saat meletusnya PD I, ketika direktur Javasche bank menawari mereka kerjasama dengan pedagang berlian di Antwerp, Belgia. Pada mulanya, mereka hanya menjualnya kepada keluarga dan kerabat Kraton Yogyakarta maupun Surakarta, namun kemudian meluas kepada orang-orang kaya dan took-toko emas di semua kota besar. Sehingga menurut Van Mook (1926), Kotagede dianggap pusat perdagangan berlian terbesar di Hindia Belanda. Dari hasil perdagangan berlian tersebut, keluarga Mulyosoewarno berhasil mendirikan suatu kompleks perumahan di Tegalgendu, dengan gaya Eropa dan memperlihatkan berbagai jenis kaca hias, mosaik, dan tegel yang sangat mewah.

Beringin, Pohon

Disebut juga wringin atau caringin memiliki nama ilmiah Ficus benyamina, merupakan tanaman asli Indonesia. Sebelum pohon jati didatangkan dari India ke Jawa pada zaman Hindu dulu (beberapa tahun sebelum Masehi), beringin sudah ada di hutan-hutan Pulau Jawa. Itulah sebabnya, beringin dianggap "pohon yang paling tua". Pohon in bila terus lestari, tingginya bisa sampai 35 m. Tajuk daunnya menaungi apa saja di bawahnya, sejauh 6 m di sekeliling batang yang membesar hingga bergaris tengah 2 m.

Pohon ini memiliki banyak keanekaragaman jenis yang ditemukan, antara lain, Pohon Lo (Ficus glomerata) yang dapat dimakan buahnya, Pohon Hampelas (Ficus ampelas) yang kasar daunnya seperti amplas, Kiaracondong (Ficus rostrata) yang tidak bisa tegak batangnya, karet perca (Ficus elastica), Pohon Gondanglegi (Ficus variegate), dan masih banyak yang lainnya.

Pohon ini dianggap keramat dan dihormati, dilakukan masyarakat antara lain untuk melindungi mata air sebuah desa. misalnya, jangan sampai diinjak-injak dijadikan tempat sembarangan, tetua desa sengaja menanam pohon beringin di dekatnya. Penduduk yang menghormati pohon itu dengan sendirinya juga menghormati tempat mata air yang hendak dilestarikan itu. Kepada anak-anak biasanya disampaikan mitos bahwa di antara akar beringin raksasa itu bersemayam ular penjaga mata air yang besar. Jangan main-main dengan mata air itu!

Di kalangan raja-raja Jawa, pohon beringin merupakan simbol keabsahan seorang raja yang dinobatkan dan keraton tempatnya bersemayam. Itu sudah berlaku sejak Sultan Pajang, dan menanam pohon beringin di alun-alun depan keraton. Karena dikurung dengan pagar tembok supaya rapi, pohon itu terkenal sebagai wringin kurung.

Ketika Ki Juru Martani ingin menghadap Sultan Pajang, ia harus duduk bersila di dekat batang wringin kurung itu. Setelah diketahui oleh Sultan, Ki Juru Martani dipanggil masuk keraton, dan ditanya maksud kedatangannya. Ternyata ia memberi tahu bahwa Ki Ageng Mataram yang diangkat Sultan Pajang sebagai raja daerah itu telah wafat. Lalu ditunjuk putra Ki Ageng Pemahanhan, Ngabehi Loring Pasar. Tradisi memberi kesempatan pada rakyat untuk bertemu raja itu kemudian dilestarikan oleh raja-raja Mataram berikutnya.

Sepasang beringin yang sama umurnya ditanam di alun-alun depan gapura keraton. Diduga, kedua wringin kembar itu harus mengapit jalan yang disediakan untuk lalu lintas gajah kendaraan dinas raja. Keduanya juga dipakai untuk menambatkan gajah-gajah yang sedang diparkir. Jarak antar kedua batang pohon itu begitu lebar (12 m),agar bisa dipakai untuk pepe (berjemur) rakyat. Pepe ialah cara yang berbudaya untuk berdemo, meminta perhatian raja agar dapat diterima berdialog. Pada zaman itu hanya Raja Mataram (yang kemudian sudah menaklukkan Sultan Pajang) yang boleh menanam beringin kembar. Raja lain yang kecil-kecil dianggap menyaingi Maharaja Mataram kalau berani meniru, lalu dituduh menantang.

Sedangkan para raja daerah mancanegara, seperti Adipati Jepara, Madiun), Tuban, Gresik, dan lainnya, boleh meniru menanam pohon beringin di alun-alun depan keratonnya, tetapi hanya sebatang. Begitu pula para bupati yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda di luar daerah kerajaan Mataram. Mereka dikukuhkan dengan pohon beringin tunggal di depan rumah kabupatennya.

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman Masjid Besar Kotagede. Memiliki nama ilmiah......Secara umum pohon ini melambangkan pengayoman seorang raja kepada rakyatnya. Pada zaman dahulu pohon beringin yang ditanam ditengah alun-alun berfungsi sebagai tanda bahwa di daerah tersebut ada sebuah kerajaan atau ada seorang adipati. Pohon beringin ini juga berfungsi sebagai tempat semedi atau bertapa yang dilakukan oleh seorang raja ataupun pendeta, untuk mendapatkan wahyu/wangsit.

Beras Kencur, Jamu

Jamu beras kencur dikatakan oleh sebagian besar penjual jamu sebagai jamu yang dapat menghilangkan pegal-pegal pada tubuh. Dengan membiasakan minum jamu beras kencur, tubuh akan terhindar dari pegal-pegal dan linu yang biasa timbul bila bekerja terlalu payah. Selain itu, banyak pula yang berpendapat bahwa jamu beras kencur dapat merangsang nafsu makan, sehingga selera makan meningkat dan tubuh menjadi lebih sehat.

Dalam pembuatan jamu beras kencur, terdapat beberapa variasi bahan yang digunakan, namun terdapat dua bahan dasar pokok yang selalu dipakai, yaitu beras dan kencur. Kedua bahan ini sesuai dengan nama jamu, dan jamu ini selalu ada meskipun komposisinya tidak selalu sama di antara penjual jamu. Bahan-bahan lain yang biasa dicampurkan ke dalam racikan jamu beras kencur adalah biji kedawung, rimpang jahe, biji kapulogo, buah asem, kunci, kayu keningar, kunir, jeruk nipis, dan buah pala. Sebagai pemanis digunakan gula merah dicampur gula putih dan seringkali mereka juga mencampurkan gula buatan.

Cara pengolahan pada umumnya tidak jauh berbeda, yaitu direbus dan dibiarkan sampai dingin, kemudian disediakan sesuai kebutuhan. Mula-mula beras disangan, selanjutnya ditumbuk sampai halus. Bahan-bahan lain sesuai dengan komposisi racikan ditumbuk menggunakan lumpang dan alu besi atau batu. Kedua bahan ini kemudian dicampur, diperas, dan disaring dengan saringan atau diperas melalui kain pembungkus bahan. Sari perasan bahan dicampurkan ke dalam air matang yang sudah tersedia, diaduk rata. Selanjutnya dimasukkan ke dalam botol-botol.

Jumat, 05 Juni 2009

Benteng Jebolan Raden Rangga

Bagian tembok cepuri sisi utara yang secara fisik terbuka sebesar ukuran manusia, sehingga menyerupai gerbang.

Dalam sebuah cerita, dikisahkan tentang Raden Rangga (putera Panembahan Senapati), yang sakti namun nakal. Sehingga suatu ketika akan diberi pelajaran oleh Panembahan Senapati, dengan diminta untuk mematahkan jempolan ampeyan (ibu jari kaki) Panembahan Senapati. Walaupun sakit namun Panembahan Senapati merasa sakit, sehingga selanjutnya Raden Rangga dilempar dengan kakinya. Karena merasa malu dilihat orang banyak, maka Raden Rangga meninggalkan Keraton Mataram, namun tidak melalui kori (pintu gerbang), tetapi membenturkan dirinya ke benteng keraton, sehingga benteng berlubang sebesar ukuran manusia, sehingga dikenal sebagai benteng jebolan Raden Rangga.

Benthik, Permainan

Salah satu permainan tradisional yang hidup dalam masyarakat Kotagede. Perlengkapan yang diperlukan: Benthong, sebuah tongkat kayu berukuran sekitar 40 cm yang berfungsi sebagai alat pengungkit (penguthat), pelempar (tamplek) dan pengukur jarak.

Janak, sebuah tongkat kayu berukuran sekitar 15 cm yang berfungsi sebagai alat
yang diungkit dari lubang permainan (luwokan) Arena bermain Para pemain biasanya anak laki-laki berjumlah genap yang terbagi menjadi dua kelompok yang urutan mainnya ditentukan lewat pingsut atau hompimpah. Mula-mula lubang (luwokan) harus dipersiapkan di atas tanah.

Cara Bermain: Permainan ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu uthat, ilar dan patil lele, yang pada prinsipnya adalah janak diletakan diatas lubang kemudian benthong dipakai untuk menjungkit janak sejauh mungkin. Janak yang terlempar diperebutkan dua kelompok, kelompok yang main berusaha menjauhkan janak sementara kelompok jaga

berusaha mendekatkan janak ke arah lubang. Jika jarak janak lebih panjang dari dari benthong, maka kelompok yang bermain mendapatkan nilai.
Fungsi : benthik imainkan untuk mengisi waktu senggang

Bendha

Atau bendo adalah sejenis pohon buah dari marga pohon nangka (Artocarpus dengan nama ilmiahnya Artocarpus elasticus.). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak lengket. Buah benda yang telah masak dimakan dalam keadaan segar, bijinya dapat dimakan setelah direbus atau digoreng. Getah benda sering digunakan sebagai perekat untuk menjerat burung. Dahulu di Kotagede, pohon ini dikenal sebagai tempat yang angker yang dipercaya ditunggui oleh makhluk halus, sehingga anak-anak sering dilarang bermain di dekatnya.

Bengkat, Permainan

Jenis permainan tradisional khas Kotagede, dengan menggunakan biji dari buah bendha. Permainan bengkat ini dimainkan oleh dua orang. Salah seorang yang dadi (jadi) menyusun buah bendha kurang lebih 5 buah di atas tanah. Setelah disusun pemain yang lain melempar gacuk ke arah susunan buah bendha tersebut, dengan harapan buah bendha yang telah tersusun dapat dirobohkan.

Untuk dapat digunakan sebagai gacuk yang baik, biasanya buah bendha dipilih yang berbentuk bulat pipih dan didalamnya masih ada isi (biji) nya, sehingga relatif lebih berat dibandingkan dengan bendha lainnya (yang dipasang/disusun). Apabila tidak runtuh, maka pelemparan diganti dengan pemain yang lain. Apabila susunan bendha yang disusun tersebut runtuh dan tersebar (bercerai berai), maka dengan menggunakan gacuknya pemain tersebut akan melempar gacuknya dengan menggunakan ibu jari kakinya ke arah buah bendha yang runtuh tersebut satu persatu, sampai habis. Setiap buah bendha yang dapat dikenai oleh gacuk yang dilempar dengan ibu jari kaki tersebut akan menjadi milik yang bersangkutan.

Untuk menentukan menang atau kalah dalam permainan bengkat ini, adalah dengan menghitung dengan perolehan buah bendha. Pemain yang lebih banyak memperoleh buah bendha, dia dinyatakan sebagai pemenangnya.

Permainan bengkat saat ini sudah tidak ada lagi, sehubungan dengan hilangnya pohon bendha di Kotagede.
Bendha sering juga disebut kembang tarok. Jenis pohon dengan nama ilmiah Artacarpus blumei Trec. Merupakan tanaman liar, di Kotagede. Pohon ini dulunya banyak terdapat ditepi Kali Gajahwong. Batangnya besar, tingginya dapat mencapai 35 meter. Batangnya tidak begitu kuat, daun berbentuk sirip ke dalam. Bunga dan buahnya seperti halnya pohon kulur. Pohon bendha ini banyak memberi manfaat untuk ramuan jamu tradisional (obat-obatan) bagi masyarakat Kotagede, karena akarnya dapat untuk obat disentri, sedangkan getahnya dapat digunakan sebagai obat sakit perut.

Belehan, Kampung

Artinya adalah sembelihan atau penyembelihan. Belehan adalah nama tempat atau batas lokasi Benteng Baluwarti yang bersebelahan dengan Kali Gajahwong. Toponim ini terletak di sudut barat laut dari tembok benteng Baluwarti, yakni pada titik pemisahan aliran Kali Gajahwong yang disudhet ke timur masuk ke jagang sisi utara.

Kini yang tampak hanyalah cekungan pada permukaan tanah sebagai bekas jagang (panti), yang sudah menjadi perumahan disamping Perumahan Sendok Indah. Sendok merupakan singkatan dari Basen Ledhok (Basen yang berada pada daerah cekungan, yaitu bekas jagang baluwarti).

Bekel, Permainan

Bekel, Permainan
Salah satu permainan tradisional yang hidup dalam masyarakat Kotagede. Perlengkapan yang diperlukan: Bekel, terbuat dari bahan kuningan berwarna kuning atau dari bahan timbale berwarna putih. Bekel berbentuk segi empat dengan rupa bidang yang berbeda. Bidang pet, bidang dengan cekungan kecil di tengah; bidang roh, berbentuk seperti parit; bidang klat, polos tanpa hiasan dan bidang es, bidang datar berhias dengan 5 buah titik. Jumlah minimal adalah 4 buah. Bola bekel, sebuah bola terbuat dari karet dan mempunyai besar seukuran bola pingpong.

Cara Bermain: Jumlah pemain bekel dapat mencapai 4 orang yang biasanya
semuanya anak perempuan. Mula-mula para pemain menentukan urutan pemain dengan cara hompimpah atau pingsut. Selanjutnya bekel dan bolanya berada di tangan kanan pemain.

Keempat bekel digenggam dengan tiga jari, sementara bola dijepit oleh ibu jari dan jari tengah. Bola dilempar ke atas dijatuhkan ke lantai yang datar. Selama bola memantul di udara pemain berusaha mengatur bekel agar tampak bidang pet semuanya. Pemain melempar bola lagi dan kemudian mengambil satu persatu bekel. Langkah selanjutnya pemain mengambil dua bekel dan seterusnya.

Langkah tersebut disebut : pet ji, pet ro, pet lu, pet byuk. Hal yang sama juga dilakukan pada bidang yang lain. Pengambilan bekel tidak boleh menyentuh bekel lainnya atau bola menyentuh tanah dua kali dalam pengambilan bekel. Kondisi seperti ini disebut “mati” dan pemain lain mendapat giliran memainkan
bekel. Fungsi : bekel dimainkan untuk mengisi waktu senggang

Bekel

Sebutan untuk lurah desa pada pemerintahan Keraton Mataram yang bertanggung jawab mengurusi secara langsung hasil tanah lungguh yang diterima oleh para pejabat pemerintah dan kerabat raja yang menjadi patuh.
Cara kompensasi semacam ini telah dilakukan sejak masa Mataram awal, termasuk ketika berkedudukan di Kotagede, yaitu sejak abad XVI. Bekel ini ditunjuk oleh Patuh atau Kliwon. Wilayah tanggung jawab bekel disebut sebagai kebekelan. Seorang bekel memiliki hak dan kewajiban antara lain: menyerahkan paos setiap garebeg, dengan seizing pejabat mancapat mancalima seorang bekel dapat mewariskan jabatannya kepada anaknya, dan jika disetujui oleh pejabat mancapat mancalima seorang bekel diperbolehkan meminta pengurangan pajak yang dirasakan berat.

Bekel sekaligus merupakan wakil patuh untuk melaksanakan hak-haknya menarik pajak di lingkungan kabekelan, Penguasa tanah kabekelan, juga bertugas mengkoordinasikan pemungutan pajak dan mempunyai hak campur tangan atas urusan tanah.

Bhedug Mesjid Mataram

Bedhug merupakan alat komunikasi tradisional yang dengan pukulan tertentu digunakan untuk memberitahukan saat masuk waktu shalat wajib. Bedhug dan kenthongan dipukul secara bergantian dengan irama dara muluk (uluk-uluk) untuk mengawali dikumandangkannya adzan, sebagai panggilan kepada kaum muslim untuk melaksanakan shalat berjamaah di mesjid. Bedhug di Mesjid Mataram memiliki nama Kyai Dhondhong.

Bedhah Madiun, Cerita Rakyat

Cerita rakyat mengisahkan perang antara Mataram dengan Madiun. Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati berkeinginan kuat memperluas wilayahnya ke arah timur (Jawa Timur). Menurut ramalan Sunan Giri, sebelum menguasai wilayah Jawa Timur, hendaknya menaklukan terlebih dahulu negara-negara di Bang-Wetan (sebutan untuk beberapa wilayah yang berada di sebelah timur dari Keraton Mataram), salah satu wilayah di dalamnya adalah Madiun.

Sebaliknya Madiun di bawah Panembahan Madiun bersatu dengan para bupati di Bang-Wetan tidak mau menyerah dan bermaksud mendahului menyerang Mataram. Hal itu, diketahui Panembahan Senapati dan kemudian mengatur strategi perang karena mengakui kekuatan prajurit perangnya tidak seimbang dengan negara Bang Wetan. Selanjutnya Senapati berunding dengan Pangeran Adipati Mandala-Raka (nama lain dari Ki Juru Martani setelah diangkatnya menjadi patih).

Lalu dilancarkan suatu strategi, Senapati menyuruh seorang abdi wanita bernama Adisara untuk menyerahkan surat takluk kepada Panembahan Madiun dan memintanya agar segera membubarkan prajurit perangnya. Pada saat jumlah bala tentara menyusut, kesempatan ini digunakan Senapati menyerang Madiun. Pasukan Madiun tidak siap menghadapi serangan itu, mengalami kekalahan.

Panembahan Madiun sangat geram dan kecewa atas tipu muslihat Senapati, kemudian melarikan diri. Peristiwa tersebut kemudian didokumentasikan sebagai sebuah tarian klasik di Keraton Kasultanan Yogyakarta dikenal dengan Bedhaya Bedhah Madiun. Tarian ini diciptakan Sultan Hamengku Buwono VII. Pada bedhaya ini terdapat dua penari yang menyandang keris. Simbolisasi dari bagian tarian ini adalah pertemuan antara Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah (seorang senapati perang utusan Panembahan Madiun untuk melawannya). Karena dahsyatnya rayuan asmara oleh Panembahan Senapati, menyebabkan keris yang dipegangnya terjatuh, yang merupakan simbolisasi takluknya Madiun.

Bedhaya Ketawang, Tari

Disebut juga Bedaya Semang. Terdapat dua versi proses penciptaannya, pertama: tarian ini diciptakan pada masa Sulan Agung setelah melakukan laku ritual semedi. Dalam keheningan cipta, rasa, dan karsa itu, sang raja mendengar suara tetembangan dari arah tawang (langit-Red). Dia begitu terkesima dan tak mampu menyembunyikan keterpesonaannya.

Begitu selesai bersemedi, empat orang pengiringnya dia panggil. Bergegaslah Kanjeng Panembahan Purboyo, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-alap mendekati sang raja. Sultan Agung mewedarkan hasil kesaksian batinnya pada mereka. Lalu, terciptalah sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang. Bedhaya dari kata ambedhaya (menari) dan ketawang dari tawang.

Versi kedua, tarian sakral itu lebih merujuk pada pendahulu Sultan Agung. Tarian itu dianggap sebagai cerita mengenai percintaan Panembahan Senapati ing Alaga Sayiddin Panatagama (Raja pertama Mataram) dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahkan, pada akhirnya muncul mitos: penguasa Laut Selatan itu selalu datang pada saat Bedhaya Ketawang digelar di keraton Kasultanan Yogyakarta atau di Kasunanan Surakarta.

Benar-tidaknya mitos itu, seperti halnya versi manakah yang benar mengenai latar penciptaan Bedhaya Ketawang, yang pasti tarian itu memiliki makna sebagai simbol kehidupan di makroksmos dan mikrokosmos. Sembilan penari yang memeragakan Bedhaya Ketawang itu sangat simbolis, juga filosofis. Dalam alam makrokosmos, sembilan penari dapat diejawantahkan sebagai delapan mata angin dan satu pancer (pusat). Bisa pula itu simbol dari isi semesta, yakni bulan, bintang, matahari, langit, bumi, api, air, angin, dan makhluk hidup.

Ada pun pengejawantahan mikrokosmos terungkap melalui posisi penari yang memberikan makna mengenai tubuh yang sempurna. Sembilan penari yang ada berada dalam posisi dengan nama yang berbeda. Pertama, posisi Batak menyimbolkan pikiran dan jiwa, Endhel Ajeg (keinginan hati atau nafsu), Gulu dan Dad (badan), Apit Ngarep (lengan kanan), Apit Mburi (lengan kiri), Apit Meneng (tungkai kiri), Endhel Weton (tungkai kanan), dan Buncit (organ seksual).Batak dengan Endhel Ajeg gerakannya kadang-kadang bertentangan, tetapi kadangkala menyatu. Itu merupakan cerminan pikiran dengan keinginan hati yang bisa bertentangan, tetapi bisa pula menyatu, teknis sekali, tapi sangat filosofis.

Ada penafsiran lain yang menyebut sembilan penari sebagai simbol lubang di tubuh manusia. Secara filososfis, lubang-lubang itu ditafsirkan sebagai sumber hawa nafsu. Maka istilah yang lazim dikenal adalah babahan hawa sanga. yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang alat kelamin, dan satu lubang anus. Di luar penafsiran-penafsiran itu yang pasti hingga kini Bedhaya Ketawang itu masih disakralkan, bahkan ia dianggap sebagai pusaka keprabon bagi kerajaan Mataram dan sempalannya. Dia tidak bisa pula digelar di sembarang tempat dan waktu. Hanya dipergelarkan saat Jumenengan Dalem raja anak-keturunan Panembahan Senapati.

Bedhah Bumi

Berarti menggali lubang di tanah untuk memakamkan jenazah. Untuk keperluan iut jenazah harus diukur panjangnya supaya membuat liang lahat dapat cocok. Liang lahat itu lebih baik dibuat agak longgar dalam hal panjang dan lebarnya untuk menjaga segala kemungkinan. Sedang bila tidak mempunyai genthan atau makam keluarga, harus mencari tempat di makam mana yang disenangi atau disetujui.

Becak

Adalah angkutan umum tradisional dua penumpang yang memiliki tiga roda, dan digerakkan dengan kayuhan tenaga manusia. Sekalipun dikatakan tradisional, sebenarnya becak menggunakan teknologi sepeda dari Barat. Jadi becak bukan alat transportasi asli Kotagede, namun pada periode dimana keberadaan becak sangat membantu pergerakan penduduk Kotagede selain angkutan tradisional yang lain. Becak selanjutnya berkembang menjadi salah satu angkutan tradisional yang masih dipertahankan sampai saat ini, baik di Kotagede maupun di Kota Yogyakarta.

Pada masa lalu, becak menjadi salah satu alat angkut tradisional yang mampu menghubungkan Kotagede dengan kota Yogyakarta, melalui jalur tradisional dari Pasar Kotagede, menuju ke arah barat, melalui jembatan di atas Kali Gajahwong di kampung Tegalgendu, belok ke utara, sampai di bekas Terminal Umbulharjo, ke barat sampai di pojok beteng kulon, dan selanjutnya ke utara menuju Pasar Beringharjo.
Sekitar tahun 1950-an seorang pengusaha kelontong Kotagede (Toko Peni) yang bertempat tinggal di sebelah barat Pasar Kotagede pada masanya pernah menjadi juragan (pengusaha) alat pengangkutan tradisional ini.

Bebasan

Adalah ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan.

Bayu Mataram, Kethoprak

Di Kotagede terdapat beberapa perkumpulan kethoprak, adalah seni drama tradisional yang masih banyak disukai oleh masyarakat Jawa. Drama seni ini biasanya mengambil cerita tentang kisah-kisah raja-raja Jawa yang diambil dari babad dan legenda.

Bayu Mataram adalah salah satu grup kethoprak di Kotagede, di samping Purbacarita, dan Setia Budaya. Grup seni tradisional ini bertujuan untuk melestarikan dan berkreasi. Salah satu tema cerita yang dipentaskan adalah legenda Senapati, ketika sedang merintis Keraton Mataram. Busana yang dipakai bisa macam-macam tergantung dari cerita yang diambil, misalnya: busana Jawa, Timur Tengah dan penjajah Belanda.
Sebagai pelengkap, kesenian ini menggunakan instrumen gamelan, yang terdiri dari; gong, ketuk, kempul, saron peking, saron, boning, kendang, dan ketipung kempyang. Instrumen musik tersebut dalam kelompok kethoprak tertentu juga ditambah dengan lesung. Irama amelan yang khas dalam seni kethoprak adalah suara kethuk yang terdengar lebih dominan memukulnya. Seni dipertunjukkan yang dipentaskan pada saat peringatan hari raya, merti desa dan orang yang mempunyai hajat.

Batikan

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di Barat Laut ............, termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan......... Sebutan ........, diduga berasal dari .................., yang merupakan .........

Batik Kotagede, Industri

Masyarakat Kotagede merupakan pengusaha dan pedagang yang cukup tangguh. Bila ada jenis usaha yang dianggap lebih menguntungkan, mereka tidak ragu-ragu mengalihkan usaha ke bidang baru. Seperti mengalihkan usaha di bidang batik. Menurut catatan H.J. van Mook tahun 1922 di Kotagede cukup banyak pengusaha batik, sangat disayangkan karena saat ini sudah tidak tersisa lagi.

Dalam proses pembuatan batik, sebenarnya sederhana yaitu menggunakan bahan malam/lilin yang tidak tembus zat cair (pewarna) untuk menutupi gambar yang tidak dikehendaki terkena warna. Ditinjau dari sudut teknologi ada dua perbedaan pokok dalam cara melekatkan malam pada kain, yaitu menggunakan canthing dan menggunakan cap (masih ada cara lain yaitu menggunakan kuas). Sehingga dikenal adanya batik tulis yang digarap dengan Canthing dan batik cap yang dikerjakan dengan cap. Pada umumnya batik tulis lebih mahal dibandingkan batik cap, karena proses pengerjaannya yang sangat berbeda. Pada batik cap dapat dikerjakan dengan cepat dan dan dalam jumlah yang banyak. Sedangkan batik dengan menggunakan Canthing selain membutuhkan waktu yang lama juga menuntut kesabaran dan ketelitian. Meskipun ada perbedaan cara melekatkan lilin, dalam proses pemberian warna dan penggarapan selanjutnya tetap sama.

Dalam proses pembuatan batik tulis yang masih dilakukan dengan cara tradisional, diperlukan persiapan-persiapan, meliputi:
Alat-alat yang diperlukan: Canthing, Wajan, Anglo, Tepas, Gawangan, Bandul, Dingklik, Cap, Kuwas, dan Kerok.

Bahan-bahan yang diperlukan: Kain mori, lilin batik/Malam, zat pewarna sebelum dikenal zat pewarna sintetis, untuk pembuatan batik tradisional digunakan zat pewarna dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan warna coklat dari kulit pohon gambir, dan daun teh. Sedangkan untuk warna biru tua dari zat warna indigo yang diambil dari daun nila.

Sedangkan proses pengerjaannya dimulai dari mencuci Kain yang akan dibatik, dikanji (tergantung jenis bahannya; ada bahan yang tidak perlu dikanji), kemudian dijemur. Setelah kering kain di Kemplong. Tahap pekerjaan selanjutnya memberi gambar dengan di Corek. Ada yang digambar seluruh polanya, ada yan ghanya berupa garis-garis yang membagi bidang yang nantinya akan diisi dengan motif-motif yang berulang secara geometris, langsung dengan Canthing. Pola yang sudah jadi kemudian diikuti garis-garis gambarnya dengan canthing. Pembatikan pendahuluan ini biasanya disebut dengan istilah di Klowong. Hasil klowongan berupa out-line kemudian diisi dengan elemen-elemen hiasan secara detail. Bila satu sisi telah selesai dibatik, maka kain batik di bidang kain ini dibalik dan di bidang kain ini dilakukan pembatikan pula menurut gambar yang telah dibatik di sebaliknya (diterusi). Dengan demikian selesailah gambar yang berupa garis-garis luarnya. Tapi sebelum diberi warna masih ada penempelan lilin tidak secara membuat garis-garis, namun dengan cara mengisi bidang-bidang yang tidak dikehendaki terkena warna dengan alat kuwas (Nemboki). Dengan demikian siaplah kain yang sudah dibatik tersebut untuk diberi warna.

Kain yang sudah dibatik dicelupkan ke dalam zat pewarna. Biasanya digunakan warna dasar biru. Proses pemberian warna biru ini disebut dengan istilah Medel atau Mbironi. Untuk batik Solo, Yogyakarta dan lain-lain daerah, yang disebut sebagai batik Sogan, setelah dibironi, langsung di Celup dengan warna soga. Setelah pemberian warna selesai, malam yang melekat dihapus dengan cara di kerok dan digodog (dilorot) dan dibersihkan lagi dengan di Byok sampai sisa-sisa malam tidak nampak lagi. Selanjutnya dikanji, dijemur, dilipat, dikemplong dan siap untuk dipasarkan.
Bila dalam proses pemberian warna diperlukan untuk memberi warna pada bidang-bidang yang terbatas luasnya, dapat dilakukan dengan cara men-colet-kan larutan kental zat warna dengan memakai kuas.

Basen, Stasiun

Merupakan stasiun lama yang menghubungkan wilayah Kotagede dengan beberapa wilayah di sebelah tenggara Kota Yogyakarta (merupakan stasiun pertukaran jalur). Stasiun ini terletak di SMP Negeri 9 Yogyakarta sekarang, yang sebelumnya dikenal sebagai SMP Basen, disesuaikan dengan lokasi tempat pendidikan tersebut berada.

Namun stasiun sejak tahun 1950-an sudah tidak ada lagi. Pada awalnya kereta ini digunakan untuk pengangkutan tebu menuju daerah Plered. Lokasi Stasiun Basen ini pada perjalanan kereta lori ke sebuah Pabrik Gula di Plered pada zaman Belanda. Jalur kereta lori ini ke barat menuju Kota Yogyakarta, dan ke timur ke arah Banguntapan, selanjutnya berbelok ke selatan menuju Plered.

Basen, Pegadaian

Merupakan satu-satunya lembaga pegadaian resmi milik pemerintah yang terdapat di Kotagede, terletak di persimpangan Jl. Kemasan dan Jl. Nyi Pembayun. Merupakan Pegadaian ketiga di Yogyakarta, yang dibangun pada sekitar tahun 1930-an, hampir bersamaan dengan Pegadaian Ngupasan dan Lempuyangan.

Basen, Kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di sebelah Utara Pasar Gede, termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan Purbayan. Sebutan Basen, diduga berasal dari , dahulunya wilayah ini menjadi tempat tinggal Kyai Basah, sehingga orang menyebutnya dengan “basahan”, lama-kelamaan luluh, dan berubah menjadi “basen”.

Basa Bagongan

Ragam bahasa Jawa yang digunakan dalam lingkungan Keraton Mataram. Basa (bahasa) bagongan disebut juga bahasa kedhaton. Bahasa ini tergolong dalam ragam krama madya, sering pula digunakan dalam bahasa pedhalangan.

Menurut sejarahnya, basa kedhaton diciptakan oleh Patih Raja Kapakapa atas perintah Raja Sindhula dari Kerajaan Galuh. Kemudian pada masa Sultan Agung Anyakrakusuma, basa kedhaton mengalami perubahan dengan dimasukkannya unsure bahasa Jawa kuno. Basa Kedhaton pada zaman Hamengku Buwana I dikembalikan lagi dalam bentuk semula oleh KGPAA Mangkunegara I (menantu Sri Sultan Hamengku Buwana I).

Basa kedhaton digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam lingkungan Keraton Mataram hingga perkembangannya menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta hingga awal tahun 1950. Bahasa ini diterapkan sebagai bentuk demokrasi untuk menumbuhkan rasa persatuan diantara priyayi dan abdi dalem.
Basa kedhaton tidak mengenal tingkatan seperti pada bahasa Jawa Umum yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Namun bila berbicara dengan pribadi Raja dan Putera Mahkota, kepada keduanya tetap menggunakan Bahasa Jawa ragam krama inggil.

Pada saat ini basa kedhaton sudah mulai terbatas penggunaan pada golongan atau generasi tua atau pada serat dawuh dalem, dan tepas-tepas Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.

Bas-Basan

Permainan menggunakan semacam bidak catur yang disebut dham-dhaman. Bidak dibagi menjadi tiga ruang, satu ruang badan dan dua ruang puncak, ruang itu sebagai daerah kekuasaan. Sebagaimana beberapa daerah lain di Jawa, permainan ini juga berkembang di Kotagede, mengingat berbagai kemudahan yang dapat digunakan agar permainan bas-basan dapat berlangsung. Tiap ruang dihuni oleh satu kelompok prajurit yang berjumlah 20. prajurit tersebut dilambangkan dengan biji sawo (kecik) dan biji asam (klungsu). Pada perkembangannya, biji-bijian yang digunakan dapat digunakan dan dapat digantikan dengan kerikil atau pecahan genting (kereweng), yang penting kedua kubu tersebut harus ada bedanya.

Cara bermainnya cukup mudah, tetapi memerlukan strategi dan adu kecerdasan untuk dapat memenangkan dan mendesak prajurit lawan. Para prajurit tersebut bergerak ke depan kiri dan kanan tidak boleh mundur. Prajurit lawan yang dapat dilangkahinya berarti mati dan bidang yang kosong didudukinya. Prajurit yang mati harus ditarik ke luar dari bidak tersebut. Apabila salah satu kelompok prajurit tersebut telah habis dan tempatnya dapat dikuasai oleh lawan maka dia ke luar sebagai pemenangnya.

Biasanya permainan ini dimainkan oleh dua orang anak, di sela-sela waktu setelah pulang sekolah dan hari-hari libur. Permainan yang pernah digemari oleh anak-anak Kotagede pada beberapa waktu yang lalu. Kini, jenis permainan ini tidak disukai lagi oleh anak-anak. Kemungkinan permainan tersebut punah, digantikan posisinya oleh permainan catur.

Baruklinting, Ki

Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Realitasnya perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular naga. Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.

Jadi, Ki Bagus Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari Mangir III. Mangir III ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah dengan tombak Kiai Baruklinting. Demikian, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapurnalar begitu saja.

Misteri Ki Bagus Baruklinting sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia adalah naga, tetapi sebagian percaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah manusia biasa. Hanya saja karena ia lahir dari rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri. Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus Baruklinting sendiri. Dalam babad diceritakan bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu berhati-hati terhadap Pembayun.
Tidak aneh kalau pada gilirannya bahwa tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam dan dilumpuhkan oleh Pembayun dengan kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut dengan kemben milik Pembayun.

Barok

Adalah salah satu langgam gaya arsitektur asing yang diadopsi dan menjadi cirri khas rumah masyarakat Kalang di Kotagede. Seperti diketahui, masyarakat Kalang bersifat lebih egaliter dan bebas, termasuk dalam hal membangun sering menggunakan unsure-unsur estetika non-lokal. Di Kotagede gaya asing yang dipakai adalah Barok (baroque).

Barok merupakan salah satu style arsitektur yang dikembangkan untuk bangunan sacral gereja dan puri bangsawan pada awal abad XVII di Itali, dan menyebar ke Eropa. Langgam gaya ini dicirikan dengan garis outline lengkung-lingkar, yang dieksploitasi menjadi gaya dekorasi berbentuk relung lengkung lembut.
Gaya ini populer di kalangan masyarakat Kalang Kotagede sejak periode kolonial dan Hindia.. penggunaan unsure asing ini menunjukkan keterbukaan dalam pergaulan masyarakat Kalang Terhadap unsure dari luar, dan sekaligus kebebasannya terhadap nilai-nilai tradisi yang bersifat istana-sentris.

Banyusumurup, Masjid

Terletak di Girirejo, Imogiri, Bantul. Masjid ini tepatnya terletak lebih kurang 1 km dari jalan raya yang menuju makam Imogiri ke arah selatan. Waktu tempuh untuk menuju masjid ini lebih kurang 15 menit jika jalan kaki, karena tidak ada angkutan umum yang menuju ke masjid ini. Masjid ini berdiri diatas tanah seluas 538 m2, luas bangunan 228 m2. Atap bangunan masjid berbentuk limas an, disangga oleh 4 buah tiang. Serambi depan berukuran 11,70 x 6,40 m, serambi kanan berukuran 9,40 x 2,50 m, saat ini dipergunakan untuk menyimpan Al Quran, bedug kentongan dan mimbar. Menurut takmir masjid benda-benda bedug, kentongan dan mimbar dibuat sejaman dengan masjid dan makam Banyusumurup dan kondisinya masih cukup baik. Ukurang masing-masing benda:
Terdapat bedug dengan ukuran panjang 103 cm, garis tengah 65 cm, polos, keadaan kulit cukup baik dan pernah diganti satu kali. Kentongan: panjang 70 cm, garis tengah 18 cm, tanpa hiasan. Gantungan bedug: lebar 153 cm, tinggi 160 cm. Di samping
mimbar: panjang 126 cm, lebar 80 cm, tinggi 207 cm, salah satu bagian samping terdapat ukiran. Walaupun kondisinya masih baik tetapi tidak dipergunakan lagi.

Banjar, Makanan

Makanan khas Kotagede dengan bentuk seperti cincin, dibagian pinggirnya dibentuk sehingga menyerupai bentuk cakra. Banjar dibuat dari bahan utama tepung beras ketan, dan dibentuk seperti cakra.

Kue ini mirip dengan Ukel, perbedaannya terletak pada rasanya yang tidak manis tetapi gurih. Sebagian makanan ringan, berjari biasanya disajikan bersama dengan minuman teh, bersifat kering dan tahan lama, sehingga cocok untuk menjadi salah satu oleh-oleh khas Kotagede.

Banyusumurup, Makam

Makam Banyusumurup adalah tempat orang-orang buangan bagi orang yang bersalah terhadap Sultan Agung. Merupakan kompleks makam yang terletak di dusun Banyusumurup, Girirejo, Imogiri, Bantul, DIY. Komplek makam ini terletak sekitar 2 km sebelah selatan komplek makam Pajimatan Imogiri, yaitu sebuah lembah yang dikelilingi oleh Gunung Mengger di sebelah Utara; Gunung Tubalung di sebelah Timur; Sendang Lgi di sebelah Selatan dan Perkampungan penduduk di sebelah Barat

Selain makam Pangeran Pekik, terdapat pula makam Gusti Pangeran Lamongan; Gusti Ratu Mangkurat istri Amangkurat Amral, Gusti Pangeran Timur, Raden Ronggo Prawirodirjo, Kanjeng Ratu Lendah, Kanjeng Ratu Sedo Kedaton, Kyai Cuntang (ahli nujum), Gusti Pandansari istri Pangeran Pekik, serta beberapa kerabat Pangeran Pekik.

Makam Banyusumurup terdiri atas dua halaman yang masing-masing dikelilingi tembok bata dan berdenah empat persegi panjang, dengan arah Utara Selatan. Halaman I berukuran panjang 37 m, lebar 24 m, tinggi 2,75 m. Pada halaman I ini terdapat regol berukuran panjang 4,30 m, lebar 3,30 m dan tinggi sampai dengan ujung atap 4,40 m, dengan dua buah dahun pintu bercat hijau tua tanpa hiasan. Regol ini selalu tertutup dan terkunci, dibuka kalau ada peziarah yang datang khusus untuk mengadakan upacara tertentu/sesaji.
Sedangkan halaman II berukuran panjang 20,30 m, lebar 19,50 m, ukuran regol dan bentuknya sama dengan regol halaman I. Regol halaman II ini selalu terbuka, sehingga para juru kunci dan peziarah bebas keluar masuk.

Banguntapan, Kecamatan

Termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bantul, dengan kantor terletak di desa Baturetno. Memiliki luas total wilayah 28,48 km2 (2.848 ha), terdiri dari 57 dusun, 157 RW dan 485 RT. Menurut data BPS tahun 2003 memiliki total jumlah penduduk 77.523, dengan tingkat kepadatan 2.722 jiwa/km2. Terdiri dari Kecamatan delapan desa, yaitu:
Desa Tamanan, luas 83 ha, yang terdiri dari 9 dusun, 20 RW dan 44 RT.
Desa Jagalan, luas 375 ha, yang terdiri dari 2 dusun, 5 RW dan 25 RT.
Desa Singosaren, luas 27 ha, yang terdiri dari 3 dusun, 4 RW dan 15 RT.
Desa Wirokerten, luas 67 ha, yang terdiri dari 8 dusun, 21 RW dan 57 RT.
Desa Jambidan, 386 ha, yang terdiri dari 7 dusun, 20 RW dan 52 RT.
Desa Potorono, 376 ha, yang terdiri dari 9 dusun, 18 RW dan 45 RT.
Desa Baturetno, 394 ha, yang terdiri dari 8 dusun, 22 RW dan 75 RT.
Desa Banguntapan, luas 833 ha, yang terdiri dari 11 dusun, 47 RW dan 172 RT.

Di kecamatan ini terdapat sarana ibadah, dengan rincian …. masjid, … musholla dan … gereja. Bila dilihat dari jumlah sarana pendidikan, terdapat …. TK, …. SD, …. SLTP, … SMU, dan …Perguruan Tinggi. Sedangkan dilihat dari sarana kesehatan yang ada, terdapat 2 puskesmas, 6 puskesmas pembantu, dan 3 poliklinik.

Secara tradisional, terdapat kampung-kampung di kawasan Kotagede yang masuk termasuk wilayah administratif Kecamatan Banguntapan, yaitu di Desa Jagalan, Singosaren, dan Wirokerten.

Banguntapan, Gapura

Berlokasi di Wonocatur, Banguntapan, Banguntapan, Bantul. Gapura Banguntapan yang masih utuh sepasang ini kondisinya sangat memprihatinkan, karena keadaan yang tidak terawat di tembok-temboknya ditumbuhi alang-alang liar. Gapura di sisi Selatan sudah rusak berat, mahkota gapura sudah hilang. Bangunan yang masih tersisa berukuran panjang 3m, lebar 0,7m, dan tertinggi 5,5 m.

Kamis, 04 Juni 2009

Banguntapa, Pangeran

Nama lain dari Kanjeng Susuhunan Pakubowono VI. Pada Kamis Legi 9 Sura 1751 Saka/1824 Masehi, dikisahkan ia berburu kijang ke hutan Krendawahono. Hingga sore hari, belum juga ada berita tentang keadaann sinuhunnya. Padahal seharian berada di dalam hutan yang dikenal wingit dan angker itu. Bahkan hingga malam harinya belum da kabar, hingga diberitakan hilang ditelan belantara Krendawahono. Kabar menyedihkan itu sampai juga ke pihak Belanda. Bahkan Residen saat itu, juga merasa kaget.

Di tengah hutan Krendawahono, terdapat sebuah batu besar. Di atas batu besar itulah Sinuhun Paku Buwono VI sedang duduk bersila. Di hadapan beliau, duduk bersila pula Pangeran Diponegoro. Di sebelah kanan Pangeran Diponegara, duduk Kyai Mojo. Sedang di sebelah kiri, duduk Raden Ajeng Sumirah.

Malam itu, Banguntapa sedang memberi petunjuk kepada Diponegoro, pamannya, tentang cara-cara mengusir penjajah Belanda. Rampung memberikan petunjuk, ia memberi berkah kepada Diponegoro, sebuah saka Keraton Surakarta berupa keris Kyai Sandanglawe. Kepada Raden Ajeng Sumirah, istri Diponegoro, ia memberi pelana kuda Kyai Sabukangin lengkap dengan cemeti Kyai Janur. Juga diserahkan tombak Kyai Tundungmungsuh. Selesai memberikan senjata itu, ia mengajak Diponegoro, Kyai Mojo dan Raden Ajeng Sumirah menuju sebelah timur, ke bawah pohon beringin putih. Di bawah pohon ini Sinuhun Bangutapa bersila lagi di hadapan ketiga priyagung yang juga khusyuk bersila.

Di tempat itu, ia menyerahkan lima batang anak panah bernama Kyai Sirwindo yang ditempatkan dalam kantung bernama Kyai Karumbo. Sinuhun Banguntapa menjelaskan, ketika akan menggunakan panah tersebut terlebih dulu diawali dengan mengucapkan santiswara: “Ingsun keplasake Kyai Sirwindo, nuncepo gundhule Walanda kang hambeg kumawoso.” Artinya : Kulepaskan Kyai Sirwindo, tusuklah kepala Belanda yang angkuh merasa berkuasa.”

Kemudian pasukan Diponegoro diberi nama Barisan Bulkiyo olehnya. Selesai pertemuan itu, mereka tidak segera pulang dan diteruskan dengan sarasehan semalam suntuk di bawah pohon beringin putih. Belanda tidak mengetahui pertemuan itu, karena memang sengaja disebar khabar Sinuhun Banguntapa tersesat di dalam hutan Krendawahono.

Bandosa

Mengenai pemberangkatan jenazah ke makam, lazimnya mempergunakan bandosa. Berbentuk seperti jodang atau balai-balai memakai kaki panjang sebanyak 4 buah. Dibagian kiri, kanan serta bawah dari tempat untuk membarikan jenazah diberi tebeng. Dengan maksud agar jenazah tidak meluncur dan jatuh pada waktu dipikul nanti. Untuk memikulnya bandosa diberi karahan (gelang-gelang besi) di 4 tempat, di sudut-sudut bandosa atau didekat kakinya.

Ketika jenazah ditempatkan di dalam bandosa, jenazah diikat dengan tali dari kain putih, ditambatkan pada bingkai bandosa. Supaya tidak bergerak atau berubah posisi pada waktu dipikul ke makam.
Bandosa diberi krakap (tutup) yang dibuat melengkung, yang dibuat dari bambu dengan reng-reng atau galar-galar yang pemasanganya renggang. Kemudian diselubungi dengan kain putih. Selubung kain putih itu dibuat terjurai pada bagian kepala dan kaki, juga dibuatkan tutup dari kain putih. Bagian yang terjurai dibuatkan wiru-wiru supaya kelihatan indah.

Dahulu bandosa dibuat secara mendadak atau ketika ada sripah dan dibuat dari mabmu yang sudah tua supaya kuat serta memakai waton (bingkai), reng dan galar. Digelari dengan klasa bangka (tikar dari daun pandan yang anyamannya besar-besar) sebagai alas berbaringnya jenazah. Bingkai-bingkainya dibuat lebih panjang dari balai-balinya. Agar dapat dipergunakan untuk memikul.

Setelah jenazah terletak di liang lahat, ditutup dengan batang-batang bambu utuh atau belahan yang panjangnya sama dengan lebar liang kubur. Namun bila ada persediaan bambu khusus dapat untuk keperluan tersebut. Bambu-bambu dalam bandosa dan galarnya itu dapat digunakan untuk menutup liang lahat. Dengan penutup tersebut berarti jenazah tidak disekap (dipaseg) ketika ditimbun dengan tanah.

Bandul

Salah satu alat-alat yang dipergunakan dalam kegiatan membatik terbuat dari timah. Dipergunakan untuk memberi beban pada kain yang dipasang pada gawangan agar dapat terbentang dengan baik.

Banaspati

Lelembut berbentuk bola api yang muncul dari tanah yang retak tiba-tiba. Bola api ini kemudian membesar membentuk ular berkepala manusia yang menjulurkan lidah api untuk menghisap tubuh manusia ke dalam bumi. Mankhluk jenis ini ada di tempat-tempat angker atau sepi seperti di pekuburan, hutan, jurang, sungai, dan sebagainya.

Bancak-Dhoyok, Tari

Seni pertunjukan, perpaduan antara tarian, nyanyian dan lawakan. Jenis tari-lawakan yang menggambarkan dua orang tokoh punakawan (sebutan untuk inang-pengasuh) dari Raden Panji Inukertapati yang bernama Bancak dan Dhoyok. Kedua penari menggunakan topeng dengan ekspresi yang lucu. Di Jawa Timur tokoh Bancak dikenal dengan nama Penthul dan Dhoyok untuk Tembem. Cerita ini berasal dari Jawa Timur dan berkembang sampai ke daerah Jawa Tengah. Dalam tari ini unsur canda dan tawa menjadi suguhan utama dengan kepandaian olah vokal dan tari pemainnya, untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari. Adegan biasanya dimulai dengan keluarnya Bancak yang menceritakan kisah hidupnya, diselingi dengan tarian dan nyanyian. Kemudian kelarlah Dhoyok yang telah lama mencari saudaranya, Bancak. Kemudian mereka dialog sambil menceritakan pengalamannya masing-masing diselingi dengan humor, nyanyi dan tari.

Perlengkapan tari yang dikenakan oleh Bancak berupa, pakai celana panjen, kain Bathik dan blangkon dengan rias mata sipit, berhidung bulat dan berkulit putih. Doyok memakai kain Bathik, celana panjen, blangkon, dengan rias wajah bermata sipit melengkung, berkulit hitam dan hidung pesek. Tarian ini diiringi dengan gamelan lengkap dengan gending Kembang Nangka, Linggarjati dan Srundeng Gosong.

Baluwarti, Kampung

Nama toponim kampung tradisional di Kotagede, yang terletak di ............, termasuk dalam wilayah administratif Kelurahan......... Sebutan ........, diduga berasal dari .................., yang merupakan .........

Baluwarti

Tembok benteng yang menjadi batas fisik Kotagede sebagai ibu kota Mataram. Baluwarti merupakan bangunan khas Keraton Mataram. Berupa benteng yang mengelilingi kompleks keraton, namun wilayahnya lebih luas dan Cepuri. Bentuk bangunan baluwarti, cenderung tidak beraturan. Beberapa bagian bentuk bangunan baluwarti mengikuti bentuk bangunan cepuri, namun pada beberapa sisi, mengikuti kondisi fisik lingkungan sekitar, seperti halnya bangunan baluwarti disisi barat, yang mengikuti bentuk topografi Kali Manggisan dan Kali Gajah Wong.

Dari bekas-bekas reruntuhan dapat diindikasikan bahwa jarak terdekat antara baluwarti dengan cepuri, sekitar 80 meter. Saat ini beberapa bagian sudah tidak utuh lagi namun masih dapat ditemukan bekas-bekas reruntuhannya, yang melingkupi wilayah sekitar 20 Ha.

Baluwarti diperkirakan dibangun setelah cepuri, sebagai bangunan pelapis luar Keraton Mataram. Baluwarti dibangun selain sebagai pembatas wilayah, juga berfungsi sebagai benteng pertahanan dan keamanan pada sisi luar. Sedangkan cepuri merupakan bangunan yang berfungsi sebagai bangunan pertahanan dan keamanan disisi dalam dari Keraton Mataram. Baluwarti sebagai benteng Kotagede dibangun oleh Panembahan Senapati pada awal abad XVI.

Dibangun dari bahan batu putih dan bata merah dengan ukuran rata-rata bahan 36 x 16 x 8 cm atau 30 x 16 x 7 cm. Sisa baluwarti dapat ditelusuri sebagai berikut: jika mulai dari sisi timur maka kita harus berjalan dari Kampung Baluwarti lurus ke selatan, kemudian mengikuti aliran Kali Manggisan sampai wilayah Dukuh Sareman membelok ke barat, lalu berbelok ke utara mengikuti aliran Kali Gajahwong sampai wilayah Dukuh Belehan, kemudian berbelok ke timur sampai Kampung Baluwarti lagi.

Ada pendapat bahwa baluwarti inilah yang membawa nama ibukota Mataram sebagai Kotagede yang berarti tembok benteng berukuran besar. Karena fungsinya terutama untuk melindungi wiayah kota, benteng ini sering disebut juga dengan “benteng luar” atau tembok jaba. (di bagian dalam juga terdapat benteng lagi yang disebut dengan cepuri untuk melindungi keraton atau tembok jero).

Di bagian barat dan timur mengalir dua sungai (kali) yang mengapit benteng, yaitu Kali Manggisan di sisi timur dan Kali Gajahwong disisi barat. Selain itu, pada bagian luar benteng yang tidak berhimpit dengan kedua aliran sungai dilengkapi dengan parit besar yang disebut jagang, terutama di bagian selatan dan utara.
Di bagian dalam baluwarti dulu terdapat struktur kota Mataram antara lain berupa keraton yang juga dikelilingi tembok benteng (cepuri), alun-alun, mesjid, pasar dan permukiman bagi berbagai golongan.
Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan benteng ini antara lain adalah Babad Tanah Jawi, Babad Momana, serta catatan bangsa Eropa seperti Lons, Raffles, dan de Graaf.

Babad Tanah Jawi antara lain menyebutkan:
…tersebutlah suatu ketika Sultan Pajang duduk di singgasana …para Bupati berdatangan sembah: “Putranda Senapati-Ing-Alaga benar-benar akan memberontak…(Ia) sudah membangun benteng dan parit keliling yang lebar…
Bagian lain sumber ini menyebutkan:
…(yang) dipakai bata merah dan putih… kemudian menjadi benteng…(pada) tahun 1507…
Babad Momana antara lain menyebutkan adanya kitcha bacingah yang pembangunannya selesai pada tahun Ehe 1516.

Catatan dari bangsa Eropa, antara lain Lons yang mengunjungi Kotagede pada tahun 1733 menyebutkan bahwa dia melewati pintu gerbang dari batu yang sudah rusak yang disebut lawan seketin, yaitu pintu masuk ke Keraton Mataram. Raffles dalam History of Java vol. II menyebutkan adanya pembangunan kotah batu putih di Mataram pad tahun 1515 Jawa. Sementara itu de Graaf menyebutkan bahwa di kota Mataram ada cota dalm. Tinggi temboknya antara 20-30 kaki, lebarnya 4 kaki.

Kondisi baluwarti saat ini sangat memprihatinkan sehingga sekarang tidak dapat disaksikan secara utuh. Bahkan, hanya sebagian kecil sisanya, dan itu pun berupa serakan batu putih dan bata merah yang sudah tidak dalam posisi semula serta tersebar di sebagian kecil lokasi.

Sebagai ibu kota Mataram pertama, Kotagede dilengkapi dengan dua benteng sekaligus, yaitu benteng kota (baluwarti) dan benteng istana (cepuri). Bukan hanya bangunan benteng yang tersusun dari batu putih dan bata merah, di sekeliling benteng tersebut bahkan juga dilengkapi dengan parit lebar dan dalam yang disebut dengan jagang. Jagang ini dibuat di sisi luar kedua benteng tersebut. Kombinasi benteng dan jagang membuat kota kerajaan sangat aman dari ancaman musuh.

Benteng berparit (jagang) yang ada di Kotagede ini mengilhami Adipati Anom Kasultanan Yogyakarta (Sultan Hamengku Buwana II) yang menyarankan ayahandanya Sultan Hamengkubuwana I untuk membangun sejenis, sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhurnya yang ada di Keraton Mataram sebelumnya.

Baki

Berfungsi sebagia alat untuk membawa minuman dan makanan ketika akan disajikan kepada tamu. Bentuk baki bermacam-macam ada yang bulat, persegi dan lonjong. Baki terbuat dari kuningan, aluminium, kayu dan sebagainya. Baki yang tidak dipakai diletakkan di rak atau meja dapur.

Balangan Suruh

Upacara balangan suruh dilakukan oleh kedua pengantin secara bergantian. Gantal yang dibawa untuk dilemparkan ke pengantin putra oleh pengantin putri disebut gondhang kasih, sedang gantal yang dipegang pengantin laki-laki disebut gondhang tutur. Makna dari balangan suruh adalah berupa harapan semoga segala goda akan hilang dan menjauh akibat dari dilemparkannya gantal tersebut. Gantal dibuat dari daun sirih yang ditekuk membentuk bulatan (istilah Jawa: dilinting) yang kemudian diikat dengan benang putih/lawe. Daun sirih merupakan perlambang bahwa kedua penganten diharapkan bersatu dalam cipta, karsa, dan karya.

Bajigur, Wedang

Minuman tradisional yang dihidangkan sebagai minuman segar dalam keadaan panas, sebagai bagian untuk menemani hidangan lain seperti pisang rebus, kacang rebus atau ubi rebus. Untuk membuatnya diperlukan bahan mentahkopi, kelapa, gula merah, dan kadang digunakan klang-kaling. Untuk bumbu ditambahakan garam dan panili. Cara pembuatannya kelapa diparut, diambil santan. Kemudian kopi, gula merah, garam, santan, diaduk-aduk menjadi satu, kemudian dijerang sambil diaduk-aduk sampai mendidih. Setelah mendidih panili dimasukkan, lalu diangkat. Selanjutnya kolang-kaling diiris tipis-tipis memanjang lalu dimasak kemudian ditiriskan.

Bahudhanyang

Elemen bangunan rumah tradisional yang berfungsi menahan beban yang tidak segaris tegak dengan tiang, dalam istilah arsitektur disebut konsol (counsole). Wujudnya berupa lengan yang berpokok pada tiang tersebut, sebagaimana layaknya batang pohon. Pada atap tajug saka tunggal, misalnya bahudhanyang empat arah digunakan untuk menjaga kesetimbangan blandar atau brunjung.

Ciri khas dari bahudhanyang di Kotagede adalah wujudnya berupa lengan konsol penyangga tritisan atau cukit atap rumah tradisional. Secara struktur bahudhanyang menempel pada tiang terluar atau cagak emper, dan menyangga beban dari balok tepi atap. Bahudhanyang yang dibuat dari bahan kayu sebagaimana bahan konstruksi utama rumah tradisional. Selain berfungsi struktural, komponen bangunan ini juga berfungsi sebagai penambah estetika dengan adanya penyelesaian ukir-ukiran yang indah.

Bahusuku

Istilah yang dikenakan bagi para kuli penggarap tanah, yang merupakan kewajiban kerja bakti kepada bekel, patuh, dan raja untuk kegiatan pesta dan pawai. Misalnya dalam acara perkawinan, upacara adat, ulang tahun raja dan kerabatnya.

Bahoewinangun, Makam

Makam keluarga besar Bahuwinangun, terletak di sebelah barat Lapangan Karang, ke arah Kampung Belehan. Gerbang makam menghadap ke selatan, dengan salah satu ciri khasnya yang sangat menonjol adalah pintu gerbangnya yang sangat besar, setinggi kurang lebih empat meter dan tersusun dari pilar polos yang merupakangaya gothic dari Eropa. Di dalam kompleks makam terbagi menjadi dua bagian, yaitu makam yang terletak di dalam cungkup yang cukup besar dandi halaman. Di sini dimakamkan antara lain.........

Bahu

Ukuran luasan tanah tradisional Jawa, yang bila dikonversi setara dengan 7.096 m2.

Bahoewinangun

Seorang pedagang permata yang khusus melayani kebutuhan kraton. Merupakan putra kelima dari Raden Ngabehi Djojoniman atau Raden Amaddalem Hanomtapsir I yang juga sebagai abdi dalem kraton. R.Ngt Bahoewinangun sering mendapat pesanan barang-barang permata, perhiasan dari emas dan perak, maka kurang lebih pada tahun 1918 putranya yang bernama Prawirohardjo mendirikan perusahaan perak dengan nama singkatan P.H.

Sebagai keturunan dari R.Ngt. Bahoewinangun, Prawirohardjo sangat maju dalam usahanya dan dia jugaselalu menghubungi keraton Yogyakarta. Pada masa-masa kejayaan serta modernisasi perusahaan perak Prawirohardjo sangat dikenal, baik di kalangan pemesan-pemesan dari kraton maupun dari luar negeri terutama dari Nederland, sebab ia benar-benar dapat menjaga mutu seni maupun kwalitet bahan. Sejak zaman Jepang Prawirohardjo terpaksa menghentikan usahanya, karena dipandang tidak mungkin lagi untuk mempertahankan kehidupan perusahaannya seperti sebelum zaman Jepang. Terutama untuk mempertahankan kwalitet bahan. Dari putera-puteranya sendiri belum ada yang mendirikan perusahaan perak karena belum dewasa, dan yang melanjutkan adalah kemenakan-kemenakannya.

Babad Ing Sengkal

Naskah yang ditengarai dengan tanda waktu dengan sengkalan atau windu, yang memuat peristiwa atau kejadian penting mengenai sejarah Jawa. Diawali cerita kedatangan Aji Saka pulau Jawa ditandai dengan waktu tahun 1, selanjutnya diceritakan mengenai kerajaan kerajaan Jenggala, Majapahit, Keraton Mataram, hingga Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Babad ini mengisahkan raja-raja Jawa, saat bertahta sampai dengan wafat mereka. Naskah dilengkapi dengan perhitungan hari baik atau buruk, mangsa dan hari pasaran serta perwatakannya sesuai dengan kitab Iladuni. Ditambahkan juga uraian seputar macam-macam nafsu (empat macam nafsu yang menguasai diri manusia).

Oncor Mataram, Ongklek

Kelompok seni tradisional yang mengembangkan kesenian ongklek di Kotagede. Seni pertunjukkan ini sepintas mirip dengan angguk dan montro. Dalam pementasan, ongklek lebih banyak menampilkan nyanyian dan gerak tari dengan diiringi alat musik yang disebut terbang (rebana). Cara membunyikannya alat ini dengan dipukul dengan telapak tangan.

Omplong

Omplong berfungsi sebagai tungku atau perapian ketika memasak. Terbuat dari tanah liat dan berbentuk silinder. Lubang atas omplong berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan peralatan memasak. Omplong mempunyai tiga buah tonjolan di bibirnya serta di bagian bawahnya berfungsi sebagai jalan masuk angina dari luar ke lubang yang terdapat di tengah omplong juga sebagai tempat kayu bakar. Bahan bakar yang digunakan omplong adalah grajen serbuk kayu yang digergaji atau mrambut limbah penggilingan padi. Omplong diletakkan sejajar dengan tungku-tungku yang lain.

Omah Tradisional Kotagede

Omah pada dasarnya adalah sebutan bahasa Jawa untuk rumah merupakan tempat tinggal keluarga. Rumah bercorak tradisional umumnya merupakan pilihan dari golongan penduduk inti Kotagede pada masa lalu. Dewasa ini, dengan system social yang makin bercampur, kekhususan-kekhususan tersebut cenderung semakin kabur.
Omah di Kotagede masih kuat berciri rumah Jawa Tradisional, dengan tipologi rumah kampung, limasan dan joglo. Tipe rumah tersebut ditentukan oleh klas sosial ekonomi penghuninya.
Rumah kampung adalah tipe bentuk rumah sederhana, dicirikan dengan atap pelana, yakni adanya bidang atap dua sisi, bubungan sepanjang bangunan, dan tutup keong di kedua ujungnya. Rumah kampung biasanya dibangun oleh masyarakat biasa, terutama kaum petani yang tinggal di luar lingkungan Keraton maupun para urban atau orang desa yang pindah ke kota untuk ngenger/ngindung dan tinggal magersari di sekitar dalem pangeran atau rumah pejabat kerajaan.
Di kota kerajaan masa lalu seperti Kotagede, awalnya bentuk rumah kampung dihindari karena dinilai kuragn sesuai bagi klas abdi-dalem yang dulu tergolong bergengsi. Bangunan model kampung hanya digunakan selain untuk rumah induk, misalnya untuk gandhok maupun untuk bangunan turutan lain. Bentuk kampung untuk rumah baru muncul karena tuntutan kebutuhan praktis dari golongan pendatang.
Lebih rumit dari bentuk kampung adalah limasan, dicirikan oleh bentuk atap limas dengan bubungan panjang dan bidang miring pada keempat sisinya. Limasan tergolong bentuk rumah standard atau menengah. Bentuk rumah ini paling banyak dipilih karena cukup bergengsi, tidak sesederhana rumah kampung dan juga tidak semahal rumah joglo. Oleh karena itu rumah limasan juga banyak dijumpai di Kotagede.
Rumah tradisional juga dibedakan dari kelengkapannya. Yang paling sederhana adalah keberadaan dalem atau omah jero atau griya ageng sebagai rumah induk, yakni sebagai tempat hunian keluarga. Di dalam dalem terdapat ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang dudu keluarga, serta tiga senthong atau kamar di sisi belakang, senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen. Kalaupun dibutuhkan ruang tambahan, biasanya cukup disekat memakai rana atau kain.
Senthong tengah adalah tempat paling sakral. Pada rumah Jawa merupakan krobongan atau petanen atau pasren, karena digunakan sebagai tempat menyimpan benih padi atau pemujaan kepada Dewi Sri (dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga). Di kotagede bergeser menjadi mushala yang tetap sakral, namun ada pula yang dibuka sebagai selasar ke belakang sehingga kehilangan nilai kesuciannya.
Di sisi samping dalem terdapat gandhok bangunan samping atau bangunan turutan yang dapat berfungsi sebagai kamar atau ruang kerja. Sesuai posisinya, terdapat gandhok kiwa dan gandhok tengen. Di sisi belakang dalem terdapat pawon atau dapur tempat menyiapkan makanan. Sebagian ruangan dari unit bangunan pawon sering dijadikan sepen tempat menyimpan alat perabot rumah tangga.
Ujung belakang gandhok biasanya menyambung dengan pawon, sehingga keseluruhan bangunan membentuk denah huruf U. Posisi dan situasi baku tersebut, di Kotagede memunculkan sebutan khusus bagi kelengkapan rumah tadi. Karena rumah tradisional menghadap selatan, maka gandhok kiwa berada di sisi timur disebut wetan omah, gandhok tengen disebut kulon omah dan pawon disebut mburi omah.
Untuk bangunan omah yang lengkap terdapat pendhapa yang bertindak sebagai ruang depan, berfungsi sebagai tempat pertemuan, bersifat semi-publik. Pendhapa merupakan bangunan yang terpisah dari dalem, dibatasi oleh longkang dan atau pringgitan. Bangunan pendhapa sendiri biasanya berbentuk joglo.
Pendhapa pada dalem bangsawan biasanya juga digunakan untuk pergelaran kesenian tradisional tari-tarian dalam bentuk arena dengan penonton melingkar. Keluarga duduk di sisi dalem, tamu di sebelah menyebelah, dan gamelan pengiring di sisi depan.
Yang sangat spesifik dari rumah tradisional Kotagede adalah pendhapa dan dalem biasanya terpisah oleh longkangan. Umumnya hanya rumah lengkap bangsawan dengan epkarangan luas saja yang memiliki longkagan, sedang untuk orang biasa pendhapa menempel pringgitan. Namun di Kotagedhe meski situasinya antar rumah berdesak-desakan, longkangan tetap dihadirkan. Salah satu akibatnya adalah timbulnya pergeseran akses untuk masuk ke rumah yakni tidak lagi dari depan pendhapa, namun dari sepnajang longangan yang saling menyambung menjadi jalan umum, bukan Cuma untuk pemilik rumah tertentu saja.
Untuk dalem ageng yang lengkap masih terdapat pringgitan (pa-ringgit-an tempatkedudukan ringgit/wayang) untuk tempat pementasan wayang dimana kelir didirikan. Pringgitan merupakan ruang antara, berada di antara pendhapa dan dalem dalam sistem omah Jawa. Pringgitan juga mempunyai struktur bangunan tersendiri dengan atap limasan, yang lepas dari struktur pendhapa maupun dalem.
Bila terdapat longkangan antara dalem dan pendhapa, pringgitan cenderung menempel di sisi dalem. Untuk rumah warga biasa di Kotagede, pringgitan tidak diwujudkan secara nyata, namun lebih mengarah ke bentuk teras rumah (dalem), disebut dengan ngempearn atau emper omah.
Kekhasan lain rumah tradisional di Kotagede sebagaimana omah Jawa umumnya adalah arah orientasinya yang selalu menghadap selatan. Hal ini menunjukkan kuatnya orientasi pada makro kosmos (jagad ageng), bukan sebatas lingkungan sekitar. Di Kotagede, orientasi gubahan rumah Jawa yang asli juga ke arah selatan. Pola khusus orientasi rumah ini membawa konsekuensi di ataranya adalah karena lingkungan kota sangat padat, jamak terjadi wajah depan sebuah rumah menghadap langsung belakang rumah lainnya. Begitu juga, jala akses rumah yang terbentuk di sela-sela antara bangunan-bangunan rumah mempunyai pola organis yang tidak terencana.
Di beberapa kampung Kotagede juga ditemui kondisi rumah yang secara khusus tidak meghadap ke jalan lingkungan (lurung), da cenderung membelakanginya.

Rumah Tradisional Kotagede
Berdasarkan studi terhadap rumah-rumah tradisional di Kotagede,menurut Darwis Khudoridan Achmad Charris Zubair, memiliki ciri-ciri umum arsitektur rumah tradisional Kotagede adalah sebagai berikut:

Ciri-Ciri Kualitatip
Yang dimaksud dengan ciri-ciri kualitatip adalah ciri-ciri yang tidak terikat kepada segi-segi bentuk, ukuran dan bahan bangunan.
Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut:
Adanya poros atau as yang menjadi pengarah seluruh gubahan ruang dan bangunan. Dalam hal ini poros itu membujur ke arah utara selatan.
Adanya orientasi terhadap arah mata angin sebagai patokan menghadapnya rumah. Dalam hal ini arah itu adalah selatan.
Adanya simetri bentuk dan besaran ruang dan bangunan antara sebelah kiri dan kanan dengan poros utara sebelah kiri dan kanan dengan poros utama selatan sebagai garis pembaginya.
Adanya jalinan antara ruang terbuka (ruang luar: halaman depan, halaman samping, halaman belakang, halaman tengah) dengan ruang ternaung (ruang dapur) yang saling merasuk di dalam seluruh kompleks rumah.
Adanya hirarki ruang di mana makin ke dalam makin penting dan makin privat, sedang makin keluar semakin umum.
Adanya inti atau pusat ruang atau bangunan yang mengikat keseluruhan gubahan ruang dan bangunan. Dalam hal ini dalam atau rumah induk merupakan inti atau pusat tersebut.

Ciri-Ciri Kuantitatip
Yang dimaksud dengan ciri-ciri kuantitatip adalah ciri-ciri yang terikat kepada ukuran, bentuk dan bahan (konstruksi). Ciri-ciri itu adalah sebagia berikut:
Adanya bentuk-bentuk ruang dan bangunan bersegi empat sebagai dasar seluruh gubahan ruang dan bangunan.
Adanya ragam berntuk atap yang berkisar pada bentuk-bentuk joglo, limasan dan kampung, dengan joglo sebagai bentuk utama.
Adanya skala manusia pada ukuran bangunan, di mana ukuran ruang dan bangunan didasarkan pada satuan-satuan jengkal, depa, dan lain-lain.
Adanya skala lingkungan pada ukuran bangunan, di mana bangunan harus selaras dengan ukuran bangunan di lingkungan sekelilingnya.
Adanya proporsi horizontal yang menonjol, di mana tinggi tritis (dimensi vertikakl) lebih kecil atau bangunan (dimensi horizontal).
Adanya sistem struktur rangka di man apenutup atap disangga oleh tiang, balok dan rangka atap. Tiang sendiri diletakkan di atas umpak. Dan balok pengaku (stabilitas) tidak terpendam dalam tanah (sloof), melainkan berada di tiang bagian atas (topang/balok kopeling). Penyekat-penyekat ruang dari kayu tidak menyangga atap dan bisa dilepas.
Adanya pemakaian bahan-bahan bangunan dari alam, terutama kayu.
Adanya detail-detail konstruksi yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur kekatan dan keindahan.