Minggu, 03 Mei 2009

Amir, Kyai

Tokoh dan pendiri Muhammadiyah cabang Kotagede. Nama kecilnya adalah Samanhudi, lahir sekitar tahun 1892 di Desa Mlangsen, Kulon Progo. Ayahnya Jalal Sayuthi seorang ulama terkenal yang pernah tinggal di Mekkah selama 10 tahun menjadi guru dan ulama. Salah seorang murid Jalal Sayuthi di Mekkah adalah KH Ahmad Dahlan, kemudian terkenal sebagai pendiri Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta.

Samanhudi muda mulai gemar belajar bahasa Arab dan dasar-dasar ajaran Islam dari ayahnya. Ia berminat kuat untuk belajar Shahihul Bukhari (haditz yang dihimpun oleh Al-Bukhari), dan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa. Ia memperoleh Sertifikat Penguasaan Hafal Al-Quran (hafidz) dari KH Munawir, Pondok Krapyak Yogyakarta. Lalu terus belajar buku-buku agama dengan Kyai Nawawi dan Pasuruan, Jawa Timur. Pendalaman Ilmu Nahwu (tatabahasa Arab) ia pelajari dari Kyai Ibrahim di Nglirap, Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Mengalami saat yang paling menentukan kariernya sebagai santri dengan berguru pada Kyai Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama 1926.

Kecerdasannya sangat dikagumi Kyai Hasyim Asyari, yang menyarankannya agar belajar dan memperdalam masalah Bukhari di Mekkah. Ia pun berangkat melalui Singapura. Setibanya di sana, ia kehabisan uang untuk melanjutkan perjalanan, sehingga harus bekerja beberapa bulan di Singapura untuk mengumpulkan uang dan sebelum meneruskan perjalanan ke Mekkah. Di Tanah Suci, ia menjadi murid Kyai Mahfudz.

Sepulang dari Mekkah, ia berganti nama menjadi Amir dengan titel lengkapnya H. Amir. Sebagaimana penghidupan banyak ulama saat itu, ia menghidupi dirinya sebagai padagang, dengan mulai berhubungan dengan pedagang-pedagang Kotagede. Perkawinan yang pertama dengan puteri Kyai Amin, Lurah Desa Bokongan Purworejo harus berakhir, karena baik istri maupun anaknya meninggal dunia.

Perkawinan kedua dengan cucu H. Mukmin di Kotagede membawa dia ke tengah-tengah kalangan pedagang Yogyakarta. Ibu mertuanya, Nyai Chatijah, banyak membantu dalam usaha perdagangannya. Ia banyak menyumbang bagi kemajuan reformasi Islam. Tahun 1910, bersama H. Masyhudi mendirikan dan memimpin Sekolah Muhammadiyah. Di samping mendirikan organisasi Syarekatul Mubtadi, sebuah organisasi yang menangani kepentingan pendidikan orang dewasa.

Kegiatan Kyai Amir tidak terbatas di Kotagede, tetapi juga Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia menjadi tuan rumah Konferensi Ulama-Ulama terkemuka di Yogyakarta sebelum Sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah (yang didirikan tahun 1927). Hasil konferensi tersebut diterbitkan dalam sebuah jurnal yang bernama Ummat Islam, Kyai Amir duduk sebagai ketua redaksinya.

Pada zaman pemerintahan kolonial, Belanda mendirikan Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta sebagai Badan Pengadilan Islam tertinggi untuk wilayah Jawa dan Madura. Kyai Amir ditunjuk sebagai salah seorang hakimnya. Pada zaman pemerintah Jepang, Kyai Amir dipilih untuk menjadi kepala Kantor Urusan Agama atau Shukuma untuk wilayah Kasultanan Yogyakarta.

Tahun 1937, ia menjadi penggagas berdirinya Mesjid Perak, dan terpilih sebagai Ketua Pengurus Mesjid Perak. Kyai Amir menulis dan menyunting banyak buku, sebagian besar tentang Al-Quran dan Hadist. Buku-buku ini digunakan sebagai pegangan di Sekolah Muhammadiyah seperti: Shahihul Bukhari, Al-Quran wal Muhdats, Al-Adzkaar, Fathul mannan fie tajwiedil Quran, Adabul walad ma’a waalidihi, ‘Iqdul jauhar, Fathur Malikis Shomad, dan Kifayatul Muhtaj. Tafsir (penjelasan) Al-Qurannya, yang dicetak secara pegon (bahasa Jawa dalam tulisan Arab), dikatakan sangat popular di kalangan Muhammadiyah.

Kyai Amir meninggal tahun 1948, saat berusia 56 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Kampung Boharen, Alun-Alun, Kotagede berdekatan dengan makam kakek mertuanya, H. Mukmin, dan kawan serta paman mertuanya, H. Muchsin. Ia bukanlah orang asli Kotagede. Namun, segala pengabdian pada Kotagede dalam mengembangkan sektor pendidikan Muhammadiyah (khususnya dengan Madrasah Ma’had Islamy), tetap eksis hingga sekarang, sebagai tanda sejarah yang tercatat pada zamannya.

1 komentar: