Kamis, 04 Juni 2009

Omah Tradisional Kotagede

Omah pada dasarnya adalah sebutan bahasa Jawa untuk rumah merupakan tempat tinggal keluarga. Rumah bercorak tradisional umumnya merupakan pilihan dari golongan penduduk inti Kotagede pada masa lalu. Dewasa ini, dengan system social yang makin bercampur, kekhususan-kekhususan tersebut cenderung semakin kabur.
Omah di Kotagede masih kuat berciri rumah Jawa Tradisional, dengan tipologi rumah kampung, limasan dan joglo. Tipe rumah tersebut ditentukan oleh klas sosial ekonomi penghuninya.
Rumah kampung adalah tipe bentuk rumah sederhana, dicirikan dengan atap pelana, yakni adanya bidang atap dua sisi, bubungan sepanjang bangunan, dan tutup keong di kedua ujungnya. Rumah kampung biasanya dibangun oleh masyarakat biasa, terutama kaum petani yang tinggal di luar lingkungan Keraton maupun para urban atau orang desa yang pindah ke kota untuk ngenger/ngindung dan tinggal magersari di sekitar dalem pangeran atau rumah pejabat kerajaan.
Di kota kerajaan masa lalu seperti Kotagede, awalnya bentuk rumah kampung dihindari karena dinilai kuragn sesuai bagi klas abdi-dalem yang dulu tergolong bergengsi. Bangunan model kampung hanya digunakan selain untuk rumah induk, misalnya untuk gandhok maupun untuk bangunan turutan lain. Bentuk kampung untuk rumah baru muncul karena tuntutan kebutuhan praktis dari golongan pendatang.
Lebih rumit dari bentuk kampung adalah limasan, dicirikan oleh bentuk atap limas dengan bubungan panjang dan bidang miring pada keempat sisinya. Limasan tergolong bentuk rumah standard atau menengah. Bentuk rumah ini paling banyak dipilih karena cukup bergengsi, tidak sesederhana rumah kampung dan juga tidak semahal rumah joglo. Oleh karena itu rumah limasan juga banyak dijumpai di Kotagede.
Rumah tradisional juga dibedakan dari kelengkapannya. Yang paling sederhana adalah keberadaan dalem atau omah jero atau griya ageng sebagai rumah induk, yakni sebagai tempat hunian keluarga. Di dalam dalem terdapat ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang dudu keluarga, serta tiga senthong atau kamar di sisi belakang, senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen. Kalaupun dibutuhkan ruang tambahan, biasanya cukup disekat memakai rana atau kain.
Senthong tengah adalah tempat paling sakral. Pada rumah Jawa merupakan krobongan atau petanen atau pasren, karena digunakan sebagai tempat menyimpan benih padi atau pemujaan kepada Dewi Sri (dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga). Di kotagede bergeser menjadi mushala yang tetap sakral, namun ada pula yang dibuka sebagai selasar ke belakang sehingga kehilangan nilai kesuciannya.
Di sisi samping dalem terdapat gandhok bangunan samping atau bangunan turutan yang dapat berfungsi sebagai kamar atau ruang kerja. Sesuai posisinya, terdapat gandhok kiwa dan gandhok tengen. Di sisi belakang dalem terdapat pawon atau dapur tempat menyiapkan makanan. Sebagian ruangan dari unit bangunan pawon sering dijadikan sepen tempat menyimpan alat perabot rumah tangga.
Ujung belakang gandhok biasanya menyambung dengan pawon, sehingga keseluruhan bangunan membentuk denah huruf U. Posisi dan situasi baku tersebut, di Kotagede memunculkan sebutan khusus bagi kelengkapan rumah tadi. Karena rumah tradisional menghadap selatan, maka gandhok kiwa berada di sisi timur disebut wetan omah, gandhok tengen disebut kulon omah dan pawon disebut mburi omah.
Untuk bangunan omah yang lengkap terdapat pendhapa yang bertindak sebagai ruang depan, berfungsi sebagai tempat pertemuan, bersifat semi-publik. Pendhapa merupakan bangunan yang terpisah dari dalem, dibatasi oleh longkang dan atau pringgitan. Bangunan pendhapa sendiri biasanya berbentuk joglo.
Pendhapa pada dalem bangsawan biasanya juga digunakan untuk pergelaran kesenian tradisional tari-tarian dalam bentuk arena dengan penonton melingkar. Keluarga duduk di sisi dalem, tamu di sebelah menyebelah, dan gamelan pengiring di sisi depan.
Yang sangat spesifik dari rumah tradisional Kotagede adalah pendhapa dan dalem biasanya terpisah oleh longkangan. Umumnya hanya rumah lengkap bangsawan dengan epkarangan luas saja yang memiliki longkagan, sedang untuk orang biasa pendhapa menempel pringgitan. Namun di Kotagedhe meski situasinya antar rumah berdesak-desakan, longkangan tetap dihadirkan. Salah satu akibatnya adalah timbulnya pergeseran akses untuk masuk ke rumah yakni tidak lagi dari depan pendhapa, namun dari sepnajang longangan yang saling menyambung menjadi jalan umum, bukan Cuma untuk pemilik rumah tertentu saja.
Untuk dalem ageng yang lengkap masih terdapat pringgitan (pa-ringgit-an tempatkedudukan ringgit/wayang) untuk tempat pementasan wayang dimana kelir didirikan. Pringgitan merupakan ruang antara, berada di antara pendhapa dan dalem dalam sistem omah Jawa. Pringgitan juga mempunyai struktur bangunan tersendiri dengan atap limasan, yang lepas dari struktur pendhapa maupun dalem.
Bila terdapat longkangan antara dalem dan pendhapa, pringgitan cenderung menempel di sisi dalem. Untuk rumah warga biasa di Kotagede, pringgitan tidak diwujudkan secara nyata, namun lebih mengarah ke bentuk teras rumah (dalem), disebut dengan ngempearn atau emper omah.
Kekhasan lain rumah tradisional di Kotagede sebagaimana omah Jawa umumnya adalah arah orientasinya yang selalu menghadap selatan. Hal ini menunjukkan kuatnya orientasi pada makro kosmos (jagad ageng), bukan sebatas lingkungan sekitar. Di Kotagede, orientasi gubahan rumah Jawa yang asli juga ke arah selatan. Pola khusus orientasi rumah ini membawa konsekuensi di ataranya adalah karena lingkungan kota sangat padat, jamak terjadi wajah depan sebuah rumah menghadap langsung belakang rumah lainnya. Begitu juga, jala akses rumah yang terbentuk di sela-sela antara bangunan-bangunan rumah mempunyai pola organis yang tidak terencana.
Di beberapa kampung Kotagede juga ditemui kondisi rumah yang secara khusus tidak meghadap ke jalan lingkungan (lurung), da cenderung membelakanginya.

Rumah Tradisional Kotagede
Berdasarkan studi terhadap rumah-rumah tradisional di Kotagede,menurut Darwis Khudoridan Achmad Charris Zubair, memiliki ciri-ciri umum arsitektur rumah tradisional Kotagede adalah sebagai berikut:

Ciri-Ciri Kualitatip
Yang dimaksud dengan ciri-ciri kualitatip adalah ciri-ciri yang tidak terikat kepada segi-segi bentuk, ukuran dan bahan bangunan.
Ciri-ciri itu adalah sebagai berikut:
Adanya poros atau as yang menjadi pengarah seluruh gubahan ruang dan bangunan. Dalam hal ini poros itu membujur ke arah utara selatan.
Adanya orientasi terhadap arah mata angin sebagai patokan menghadapnya rumah. Dalam hal ini arah itu adalah selatan.
Adanya simetri bentuk dan besaran ruang dan bangunan antara sebelah kiri dan kanan dengan poros utara sebelah kiri dan kanan dengan poros utama selatan sebagai garis pembaginya.
Adanya jalinan antara ruang terbuka (ruang luar: halaman depan, halaman samping, halaman belakang, halaman tengah) dengan ruang ternaung (ruang dapur) yang saling merasuk di dalam seluruh kompleks rumah.
Adanya hirarki ruang di mana makin ke dalam makin penting dan makin privat, sedang makin keluar semakin umum.
Adanya inti atau pusat ruang atau bangunan yang mengikat keseluruhan gubahan ruang dan bangunan. Dalam hal ini dalam atau rumah induk merupakan inti atau pusat tersebut.

Ciri-Ciri Kuantitatip
Yang dimaksud dengan ciri-ciri kuantitatip adalah ciri-ciri yang terikat kepada ukuran, bentuk dan bahan (konstruksi). Ciri-ciri itu adalah sebagia berikut:
Adanya bentuk-bentuk ruang dan bangunan bersegi empat sebagai dasar seluruh gubahan ruang dan bangunan.
Adanya ragam berntuk atap yang berkisar pada bentuk-bentuk joglo, limasan dan kampung, dengan joglo sebagai bentuk utama.
Adanya skala manusia pada ukuran bangunan, di mana ukuran ruang dan bangunan didasarkan pada satuan-satuan jengkal, depa, dan lain-lain.
Adanya skala lingkungan pada ukuran bangunan, di mana bangunan harus selaras dengan ukuran bangunan di lingkungan sekelilingnya.
Adanya proporsi horizontal yang menonjol, di mana tinggi tritis (dimensi vertikakl) lebih kecil atau bangunan (dimensi horizontal).
Adanya sistem struktur rangka di man apenutup atap disangga oleh tiang, balok dan rangka atap. Tiang sendiri diletakkan di atas umpak. Dan balok pengaku (stabilitas) tidak terpendam dalam tanah (sloof), melainkan berada di tiang bagian atas (topang/balok kopeling). Penyekat-penyekat ruang dari kayu tidak menyangga atap dan bisa dilepas.
Adanya pemakaian bahan-bahan bangunan dari alam, terutama kayu.
Adanya detail-detail konstruksi yang merupakan perpaduan antara unsur-unsur kekatan dan keindahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar