Kamis, 04 Juni 2009

Baluwarti

Tembok benteng yang menjadi batas fisik Kotagede sebagai ibu kota Mataram. Baluwarti merupakan bangunan khas Keraton Mataram. Berupa benteng yang mengelilingi kompleks keraton, namun wilayahnya lebih luas dan Cepuri. Bentuk bangunan baluwarti, cenderung tidak beraturan. Beberapa bagian bentuk bangunan baluwarti mengikuti bentuk bangunan cepuri, namun pada beberapa sisi, mengikuti kondisi fisik lingkungan sekitar, seperti halnya bangunan baluwarti disisi barat, yang mengikuti bentuk topografi Kali Manggisan dan Kali Gajah Wong.

Dari bekas-bekas reruntuhan dapat diindikasikan bahwa jarak terdekat antara baluwarti dengan cepuri, sekitar 80 meter. Saat ini beberapa bagian sudah tidak utuh lagi namun masih dapat ditemukan bekas-bekas reruntuhannya, yang melingkupi wilayah sekitar 20 Ha.

Baluwarti diperkirakan dibangun setelah cepuri, sebagai bangunan pelapis luar Keraton Mataram. Baluwarti dibangun selain sebagai pembatas wilayah, juga berfungsi sebagai benteng pertahanan dan keamanan pada sisi luar. Sedangkan cepuri merupakan bangunan yang berfungsi sebagai bangunan pertahanan dan keamanan disisi dalam dari Keraton Mataram. Baluwarti sebagai benteng Kotagede dibangun oleh Panembahan Senapati pada awal abad XVI.

Dibangun dari bahan batu putih dan bata merah dengan ukuran rata-rata bahan 36 x 16 x 8 cm atau 30 x 16 x 7 cm. Sisa baluwarti dapat ditelusuri sebagai berikut: jika mulai dari sisi timur maka kita harus berjalan dari Kampung Baluwarti lurus ke selatan, kemudian mengikuti aliran Kali Manggisan sampai wilayah Dukuh Sareman membelok ke barat, lalu berbelok ke utara mengikuti aliran Kali Gajahwong sampai wilayah Dukuh Belehan, kemudian berbelok ke timur sampai Kampung Baluwarti lagi.

Ada pendapat bahwa baluwarti inilah yang membawa nama ibukota Mataram sebagai Kotagede yang berarti tembok benteng berukuran besar. Karena fungsinya terutama untuk melindungi wiayah kota, benteng ini sering disebut juga dengan “benteng luar” atau tembok jaba. (di bagian dalam juga terdapat benteng lagi yang disebut dengan cepuri untuk melindungi keraton atau tembok jero).

Di bagian barat dan timur mengalir dua sungai (kali) yang mengapit benteng, yaitu Kali Manggisan di sisi timur dan Kali Gajahwong disisi barat. Selain itu, pada bagian luar benteng yang tidak berhimpit dengan kedua aliran sungai dilengkapi dengan parit besar yang disebut jagang, terutama di bagian selatan dan utara.
Di bagian dalam baluwarti dulu terdapat struktur kota Mataram antara lain berupa keraton yang juga dikelilingi tembok benteng (cepuri), alun-alun, mesjid, pasar dan permukiman bagi berbagai golongan.
Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan benteng ini antara lain adalah Babad Tanah Jawi, Babad Momana, serta catatan bangsa Eropa seperti Lons, Raffles, dan de Graaf.

Babad Tanah Jawi antara lain menyebutkan:
…tersebutlah suatu ketika Sultan Pajang duduk di singgasana …para Bupati berdatangan sembah: “Putranda Senapati-Ing-Alaga benar-benar akan memberontak…(Ia) sudah membangun benteng dan parit keliling yang lebar…
Bagian lain sumber ini menyebutkan:
…(yang) dipakai bata merah dan putih… kemudian menjadi benteng…(pada) tahun 1507…
Babad Momana antara lain menyebutkan adanya kitcha bacingah yang pembangunannya selesai pada tahun Ehe 1516.

Catatan dari bangsa Eropa, antara lain Lons yang mengunjungi Kotagede pada tahun 1733 menyebutkan bahwa dia melewati pintu gerbang dari batu yang sudah rusak yang disebut lawan seketin, yaitu pintu masuk ke Keraton Mataram. Raffles dalam History of Java vol. II menyebutkan adanya pembangunan kotah batu putih di Mataram pad tahun 1515 Jawa. Sementara itu de Graaf menyebutkan bahwa di kota Mataram ada cota dalm. Tinggi temboknya antara 20-30 kaki, lebarnya 4 kaki.

Kondisi baluwarti saat ini sangat memprihatinkan sehingga sekarang tidak dapat disaksikan secara utuh. Bahkan, hanya sebagian kecil sisanya, dan itu pun berupa serakan batu putih dan bata merah yang sudah tidak dalam posisi semula serta tersebar di sebagian kecil lokasi.

Sebagai ibu kota Mataram pertama, Kotagede dilengkapi dengan dua benteng sekaligus, yaitu benteng kota (baluwarti) dan benteng istana (cepuri). Bukan hanya bangunan benteng yang tersusun dari batu putih dan bata merah, di sekeliling benteng tersebut bahkan juga dilengkapi dengan parit lebar dan dalam yang disebut dengan jagang. Jagang ini dibuat di sisi luar kedua benteng tersebut. Kombinasi benteng dan jagang membuat kota kerajaan sangat aman dari ancaman musuh.

Benteng berparit (jagang) yang ada di Kotagede ini mengilhami Adipati Anom Kasultanan Yogyakarta (Sultan Hamengku Buwana II) yang menyarankan ayahandanya Sultan Hamengkubuwana I untuk membangun sejenis, sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhurnya yang ada di Keraton Mataram sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar