Sabtu, 06 Juni 2009

Beringin, Pohon

Disebut juga wringin atau caringin memiliki nama ilmiah Ficus benyamina, merupakan tanaman asli Indonesia. Sebelum pohon jati didatangkan dari India ke Jawa pada zaman Hindu dulu (beberapa tahun sebelum Masehi), beringin sudah ada di hutan-hutan Pulau Jawa. Itulah sebabnya, beringin dianggap "pohon yang paling tua". Pohon in bila terus lestari, tingginya bisa sampai 35 m. Tajuk daunnya menaungi apa saja di bawahnya, sejauh 6 m di sekeliling batang yang membesar hingga bergaris tengah 2 m.

Pohon ini memiliki banyak keanekaragaman jenis yang ditemukan, antara lain, Pohon Lo (Ficus glomerata) yang dapat dimakan buahnya, Pohon Hampelas (Ficus ampelas) yang kasar daunnya seperti amplas, Kiaracondong (Ficus rostrata) yang tidak bisa tegak batangnya, karet perca (Ficus elastica), Pohon Gondanglegi (Ficus variegate), dan masih banyak yang lainnya.

Pohon ini dianggap keramat dan dihormati, dilakukan masyarakat antara lain untuk melindungi mata air sebuah desa. misalnya, jangan sampai diinjak-injak dijadikan tempat sembarangan, tetua desa sengaja menanam pohon beringin di dekatnya. Penduduk yang menghormati pohon itu dengan sendirinya juga menghormati tempat mata air yang hendak dilestarikan itu. Kepada anak-anak biasanya disampaikan mitos bahwa di antara akar beringin raksasa itu bersemayam ular penjaga mata air yang besar. Jangan main-main dengan mata air itu!

Di kalangan raja-raja Jawa, pohon beringin merupakan simbol keabsahan seorang raja yang dinobatkan dan keraton tempatnya bersemayam. Itu sudah berlaku sejak Sultan Pajang, dan menanam pohon beringin di alun-alun depan keraton. Karena dikurung dengan pagar tembok supaya rapi, pohon itu terkenal sebagai wringin kurung.

Ketika Ki Juru Martani ingin menghadap Sultan Pajang, ia harus duduk bersila di dekat batang wringin kurung itu. Setelah diketahui oleh Sultan, Ki Juru Martani dipanggil masuk keraton, dan ditanya maksud kedatangannya. Ternyata ia memberi tahu bahwa Ki Ageng Mataram yang diangkat Sultan Pajang sebagai raja daerah itu telah wafat. Lalu ditunjuk putra Ki Ageng Pemahanhan, Ngabehi Loring Pasar. Tradisi memberi kesempatan pada rakyat untuk bertemu raja itu kemudian dilestarikan oleh raja-raja Mataram berikutnya.

Sepasang beringin yang sama umurnya ditanam di alun-alun depan gapura keraton. Diduga, kedua wringin kembar itu harus mengapit jalan yang disediakan untuk lalu lintas gajah kendaraan dinas raja. Keduanya juga dipakai untuk menambatkan gajah-gajah yang sedang diparkir. Jarak antar kedua batang pohon itu begitu lebar (12 m),agar bisa dipakai untuk pepe (berjemur) rakyat. Pepe ialah cara yang berbudaya untuk berdemo, meminta perhatian raja agar dapat diterima berdialog. Pada zaman itu hanya Raja Mataram (yang kemudian sudah menaklukkan Sultan Pajang) yang boleh menanam beringin kembar. Raja lain yang kecil-kecil dianggap menyaingi Maharaja Mataram kalau berani meniru, lalu dituduh menantang.

Sedangkan para raja daerah mancanegara, seperti Adipati Jepara, Madiun), Tuban, Gresik, dan lainnya, boleh meniru menanam pohon beringin di alun-alun depan keratonnya, tetapi hanya sebatang. Begitu pula para bupati yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda di luar daerah kerajaan Mataram. Mereka dikukuhkan dengan pohon beringin tunggal di depan rumah kabupatennya.

Jenis pohon yang biasa ditanam di halaman Masjid Besar Kotagede. Memiliki nama ilmiah......Secara umum pohon ini melambangkan pengayoman seorang raja kepada rakyatnya. Pada zaman dahulu pohon beringin yang ditanam ditengah alun-alun berfungsi sebagai tanda bahwa di daerah tersebut ada sebuah kerajaan atau ada seorang adipati. Pohon beringin ini juga berfungsi sebagai tempat semedi atau bertapa yang dilakukan oleh seorang raja ataupun pendeta, untuk mendapatkan wahyu/wangsit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar