Jumat, 05 Juni 2009

Bedhaya Ketawang, Tari

Disebut juga Bedaya Semang. Terdapat dua versi proses penciptaannya, pertama: tarian ini diciptakan pada masa Sulan Agung setelah melakukan laku ritual semedi. Dalam keheningan cipta, rasa, dan karsa itu, sang raja mendengar suara tetembangan dari arah tawang (langit-Red). Dia begitu terkesima dan tak mampu menyembunyikan keterpesonaannya.

Begitu selesai bersemedi, empat orang pengiringnya dia panggil. Bergegaslah Kanjeng Panembahan Purboyo, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-alap mendekati sang raja. Sultan Agung mewedarkan hasil kesaksian batinnya pada mereka. Lalu, terciptalah sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang. Bedhaya dari kata ambedhaya (menari) dan ketawang dari tawang.

Versi kedua, tarian sakral itu lebih merujuk pada pendahulu Sultan Agung. Tarian itu dianggap sebagai cerita mengenai percintaan Panembahan Senapati ing Alaga Sayiddin Panatagama (Raja pertama Mataram) dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahkan, pada akhirnya muncul mitos: penguasa Laut Selatan itu selalu datang pada saat Bedhaya Ketawang digelar di keraton Kasultanan Yogyakarta atau di Kasunanan Surakarta.

Benar-tidaknya mitos itu, seperti halnya versi manakah yang benar mengenai latar penciptaan Bedhaya Ketawang, yang pasti tarian itu memiliki makna sebagai simbol kehidupan di makroksmos dan mikrokosmos. Sembilan penari yang memeragakan Bedhaya Ketawang itu sangat simbolis, juga filosofis. Dalam alam makrokosmos, sembilan penari dapat diejawantahkan sebagai delapan mata angin dan satu pancer (pusat). Bisa pula itu simbol dari isi semesta, yakni bulan, bintang, matahari, langit, bumi, api, air, angin, dan makhluk hidup.

Ada pun pengejawantahan mikrokosmos terungkap melalui posisi penari yang memberikan makna mengenai tubuh yang sempurna. Sembilan penari yang ada berada dalam posisi dengan nama yang berbeda. Pertama, posisi Batak menyimbolkan pikiran dan jiwa, Endhel Ajeg (keinginan hati atau nafsu), Gulu dan Dad (badan), Apit Ngarep (lengan kanan), Apit Mburi (lengan kiri), Apit Meneng (tungkai kiri), Endhel Weton (tungkai kanan), dan Buncit (organ seksual).Batak dengan Endhel Ajeg gerakannya kadang-kadang bertentangan, tetapi kadangkala menyatu. Itu merupakan cerminan pikiran dengan keinginan hati yang bisa bertentangan, tetapi bisa pula menyatu, teknis sekali, tapi sangat filosofis.

Ada penafsiran lain yang menyebut sembilan penari sebagai simbol lubang di tubuh manusia. Secara filososfis, lubang-lubang itu ditafsirkan sebagai sumber hawa nafsu. Maka istilah yang lazim dikenal adalah babahan hawa sanga. yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang alat kelamin, dan satu lubang anus. Di luar penafsiran-penafsiran itu yang pasti hingga kini Bedhaya Ketawang itu masih disakralkan, bahkan ia dianggap sebagai pusaka keprabon bagi kerajaan Mataram dan sempalannya. Dia tidak bisa pula digelar di sembarang tempat dan waktu. Hanya dipergelarkan saat Jumenengan Dalem raja anak-keturunan Panembahan Senapati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar