Sabtu, 06 Juni 2009

Buk Dhekem

Sebuah nama tempat yang terletak di sekitar Kampung Jagalan, tepatnya di ujung gang Celenan sebelum sampai ke Kali Gajahwong. Tempat ini mendapatkan nama demikian karena dahulu pada jalan ini terdapat sebuah bangunan berupa buk atau jembatan/gorong-gorong kecil untuk menyeberangi parit yang melintas.
Pada saat diadakan perbaikan dan penghalusan jalan, buk tersebut dirubuhkan dan diratakan dengan tanah, sehingga terkesan dalam posisi tergolek di bawah. Situasi tersebut alam bahasa Jawa disebut ndekem. Mulai saat itu tempat tersebut lebih terkenal oleh masyarakat sekitarnya dengan nama sebutan Buk Ndekem.
Pada saat ini buk ndekem tinggal sebagai nama tempat. Sedangkan perwujudan fisiknya telah hilang karena tertutup oleh peningkatan permukaan jalan pada penanganan perbaikan jalan berikutnya.

Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
Judul buku yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura, berupa penelitian tentang Kotagede. Buku ini juga diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul The Crescent Arises over the Banyan Tree. Buku yang diterbitkan oleh Gajah Mada University Press-Yogyakarta tahun 1983 sebanyak 263 halaman, ditulis dalam enam bab, umumnya mengungkapkan tentang muncul dan berkembangnya Muhammadiyah di Kotagede, dilengkapi pula dengan peta pulau Jawa, Yogyakarta dan Kotagede. Selain itu, diagram yang menggambarkan hubungan kekeluargaan dan perkawinan antara pendiri Muhammadiyah di Kotagede dicantumkan pula dalam buku ini. Lampiran berupa Tanah Bangunan Kotagede (1922), pekerjaan, pendapatan, dan komposisi pekerjaan (1972) disajikan pada bagian akhir buku ini.

Mitsuo Nakamura menjelaskan pula bahwa Kotagede memiliki berbagai keuntungan untuk penelitian perkembangan Muhammadiyah setempat. Secara etnis Kotagede merupakan kota Jawa yang murni, terletak di jantung peradaban Jawa. Kotagede muncul dalam sejarah pertama kali pada pertengahan kedua abad ke 16 sebagai lokasi awal Keraton Mataram yang belakangan, salah satu kerajaan Islam paling awal di pedalaman Jawa Tengah bagian selatan. Keraton Mataram saat itu juga mewujudkan sinkretisasi halus unsur-unsur asli, Hindu-Budha, dan agama Islam dalam kehidupan Keratonnya.

Kedudukan Keraton Mataram berpindah keluar dari Kotagede pada awal abad ke-17. kerajaan itu sendiri kemudian dipecah-pecah dan dipotong menjadi empat kerajaan (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman) karena intrik internal berkepanjangan berkepanjangan dan campur tangan Belanda selama dua abad berikutnya. Tetapi Kotagede bertahan dari semua kekacauan ini. Tetap mempertahankan identitasnya sebagai pusat kota Jawa yang khususnya sampai saat ini, sebagian besar karena segi agama dan ekonominya.
Selanjutnya Nakamura menambahkan, perkembangan yang menuju pada berdirinya Muhammadiyah di Kotagede terjadi pada saat itu berkembang pesat sampai sekarang. Prestasi Muhammadiyah yang paling menonjol dapat dilihat pada bidang pendidikan, umum, dan kesejahteraan sosial (1972). Muhammadiyah telah memprakarsai banyak perubahan di dalam kepercayaan dan praktik keagamaan di kalangan orang Kotagede.
Di samping prestasi local, Muhammadiyah Kotagede memberikan sejumlah sumbangan bagi kemajuan kepentingan Islam dalam tingkat regional dan bahkan nasional. Di banyak daerah kepulauan Indonesia sekolah-sekolah Muhammadiyah atau sekolah-sekolah Islam lainnya memperoleh sejumlah guru yang berasal dari kalangan Muhammadiyah Kotagede.

Muhammadiyah cabang Kotagede adalah salah satu yang paling aktif dan berpengaruh di dalam organisasi yang pusatnya terletak di Yogyakarta, yang memberikan bantuan langsung pada saat yang diperlukan.
Mitsuko Nakamura menerangkan tentang judul bukunya, yang berhubungan dengan konsep abangan dan santri. Proses Islamisasi di Kotagede sekarang ini hendaknya dipandang melulu sebagai masalah perubahan di dalam orientasi ideologis golongan tertentu masyarakat setempat, yakni dari tradisionalisme ke modernisme di dalam golongan santri, tetapi lebih berupa masalah yang ada hubungannya dengan pandangan agama seluruh penduduk setempat: makin bertambah besar orang-orang di dalam kategori abangan telah berpindah dan sedang berpindah ke arah kategori santri, menjadi semakin benar di dalam berpikir dan beramal sebagai orang Islam. Karena itu, judul asli buku ini, “The Crescent Arises over the Banyan Tree” artinya unsur-unsur santri yang digambarkan dengan bulan sabit semakin munculdari unsur-unsur abangan yang digambarkan dengan pohon beringin, sebuah symbol mistik. Judul ini dimaksudkan hanya sebagai ringkasan jelas proses sejarah setempat tanpa mempunyai implikasi politik yang mungkin timbul dikalangan orang-orang tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar